Minggu, 06 April 2014

Luangkan sejenak untuk membaca ini


Luangkan waktu sejenak untuk membaca ini#
Kesaksian Warga tentang sosok M. Setio Ajiono Ketua DPW SRMI DKI
Jakarta yang saat ini menjadi Caleg DPRD DKI JAKARTA dari Partai GERINDRA No. Urut 8
Dapil 9 Jakarta Barat (Kec. Tambora, Cengkareng & Kali Deres)1.
Abah Salim Murdiyana, Umur 70 Tahun, Pedagang Pos Duri.Pak 
 M.
Setio Ajiono amat dikenal di lingkungan Pasar Pos Duri, karena
melalui beliau dan Perjuangan bersama SRMI para pedagang dapat
kembali berjualan di Kali Anyar.Sampai sekarang para Pedagang masih
berjuang untuk mempunyai tempat yg layak tanpa merugikan
kepentingan Umum.Saya berdoa agar Pak M. Setio Ajiono dapat
dicintai Masyarakat dan dapat terus memperjuangkan hak-hak
Masyarakat Miskin. Semoga Pak M. Setio Ajiono terpilih pada pemilu
2014 ini menjadi Anggota Legeslatif di DPRD DKI Jakarta.
2. Bapak
Lani Baladhika, Umur 40 tahun, Warga Kedoya Utara.Melihat
perkembangan politik saat ini saya kira orang seperti Pak M. Setio
Ajiono ini sudah barang langka, karena kebanyakan para Caleg
sekarang tidak mementingkan yang di wakili, tapi bagaimana caranya
Modal kembali. Dan saya tahu Pak M. Setio Ajiono ini berangkat dari
sebuah cita-cita yang mulia, yaitu demi memperjuangkan hak-hak
masyarakat miskin yang selalu terpinggirkan. Meski hanya bermodal
semangat dan dukungan penuh dari rekan-rekan SRMI dan PRD Pak
M. Setio Ajiono mantap melangkah. Semoga Pak M. Setio Ajiono
terpilih pada Pemilu 2014 nanti, dan bisa memperjuangkan hak-hak
kami. Amin Ya Robal Alamin…
"Salam Gotong royong"Untuk
Masyarakat Kec. Tambora, Cengkareng dan Kali Deres, Ingat Kepala
Burung Garuda Ingat Partai
GERINDRA No. Urut 8 M.Setio Ajiono
Dapil 9 Jakarta Barat (Kec. Tambora, Cengkareng & Kali Deres)
Continue Reading...

Kamis, 20 Februari 2014

Cabut UU SJSN dan UU BPJS!



Pernyataan Sikap
Cabut UU SJSN dan UU BPJS!
Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 Untuk Kesehatan Rakyat Gratis!
Sejak mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2014 lalu, Sistim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menciptakan banyak masalah. Tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit-belit, juga layanan rumah sakit yang kacau-balau, tetapi juga banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin.
Namun, persoalan mendasar JKN ini bukan terletak pada teknis pelayanan, melainkan di kerangka berpikir yang mendasari pelaksanaan sistem ini, yakni UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
Pertama, penggunaan kata “Jaminan Sosial” sebetulnya menyesatkan. Sebab, istilah “Jaminan Sosial” mengisyaratkan negara-lah yang menjamin dan menanggung urusan/biaya kesehatan rakyat. Pada kenyatannya, pada sistem JKN/SJSN, layanan kesehatan hanya diberikan kepada peserta (bukan konsep: warga negara) yang terdaftar dan membayar iuran.
Kedua, sistim JKN/SJSN ini mengalihkan tanggung-jawab negara dalam urusan kesehatan rakyat menjadi tanggung-jawab individu. Buktinya sangat jelas. Silahkan lihat bunyi pasal 17 ayat (1) UU SJSN: “Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.” Artinya, untuk mendapat layanan kesehatan, setiap warga negara harus menjadi peserta BPJS dan membayar iuran.
Ketiga, sistim JKN/SJSN mengenalkan pembedaan/diskriminasi dalam layanan kesehatan, misalnya pembedaan peserta antara PBI (Penerima Bantuan Iuran/golongan fakir-miskin dan ‘tidak mampu’) dan non-PBI (golongan ‘mampu’ dan kaya). Selain itu, ada pembedaan dalam bentuk layanan sesuai dengan besaran iuran: klas I untuk pembayar iuran Rp 59.500,- per bulan; klas II untuk pembayar iuran Rp 42.500 per bulan; dan klas III untuk pembayar iuran Rp 25.500,- per bulan.
Padahal, jika merujuk ke konstitusi (UUD 1945) dan prinsip kesehatan Universal, seharusnya pemberian layanan kesehatan itu tidak mengenal pembedaan kaya-miskin, jabatan/pangkat, dan lain-lain. Layanan kesehatan universal bermakna siapapun, tanpa memandang status sosial, ekonomi, dan politiknya, berhak mendapat layanan kesehatan yang sama dan berkualitas.
Pembentukan badan khusus untuk melaksanakan jaminan sosial, yakni BPJS, justru cenderung mengarah ke privatisasi. Maksudnya, tanggung jawab negara—dalam hal ini pemerintah—dialihkan ke lembaga tertentu yang mirip perusahaan. Selain itu, pembentukan BPJS juga lebih banyak pemborosan: pembayaran gaji Direksi dan karyawan, pengadaan gedung dan fasilitasnya, biaya operasional dan lain-lain. Kenapa anggaran yang besar itu tidak dipakai untuk membangun infrastruktur kesehatan, seperti rumah sakit dan puskemas.
Lebih parah lagi, BPJS punya kewenangan untuk menggunakan aset BPJS (dana APBN dan iuran peserta) untuk instrumen investasi (pasal 41 ayat 2 UU BPJS). Artinya, program JKN/BPJS ini hanyalah cara rezim neoliberal untuk memobilisasi uang rakyat untuk menopang proses akumulasi kapital di sektor keuangan.
Selain itu, BPJS ini merupakan lembaga yang hanya dikontrol oleh 7 orang Dewan Pengawas. Sudah begitu, Dewan Pengawas ini diangkat dan bertanggung-jawab kepada Presiden. Dengan demikian, pengelolaan dana APBN/iuran rakyat di tangan BPJS berpotensi menciptakan lubang korupsi besar-besaran. Bahkan, ada dugaan sebagian pihak, bahwa dana BPJS bisa diselewengkan untuk kepentingan pemilu.
Dengan berbagai kerancuan konsep berfikir di atas, dapat disimpulkan bahwa JKN/SJSN sangat melenceng jauh dari prinsip pelayanan kesehatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila. Bagi kami, jaminan kesehatan kepada rakyat seharusnya memudahkan akses rakyat terhadap layanan kesehatan dan bisa mendorong kesejahteraan. Pada kenyatannya, KJN/SJSN ini malah membebani rakyat dengan kewajiban membayar iuran dan layanan yang diskriminatif.
Berikut beberapa tuntutan kami:
1.   Cabut UU SJSN dan UU BPJS karena bertolak-belakang dengan prinsip konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila.
2.   Menyerukan kepada semua Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota/Bupati) untuk menolak melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS. Dan, untuk sementara, mereka mempertahankan program Jamkesda yang sudah berjalan di daerah masing-masing.
3.   Menyerukan kepada dokter dan paramedis agar menuntut kepada pemerintah pusat untuk segera mencabut UU BPJS dan SJSN
4.   Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai basis untuk menyelenggarakan sistem kesehatan rakyat gratis dan berkualitas.

Jakarta, 18 Februari 2013
Continue Reading...

Minggu, 26 Januari 2014

Tinggalkan BPJS, Contohlah Kuba, Venezuela dan Ekuador!



Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..
……
(Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945)
/1
Sejak tanggal 1 Januari lalu, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) resmi berlaku. Program JKN ini diselenggarakan oleh sebuah badan bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pemerintah mengklaim, pada tahap pertama, BPJS kesehatan akan memberikan layanan kesehatan kepada 121 juta peserta atau setara dengan 48 persen jumlah penduduk Indonesia. Lantaran itu, SBY pun menepuk dada dengan mengatakan, “ini merupakan lompatan besar yang dilakukan negara kita sejak Indonesia merdeka.”
Benarkah demikian? Ada sesat pikir dalam sistem JKN ini. Pertama, sistem ini mengalihkan tanggung-jawab negara dalam pemenuhan kesehatan rakyat menjadi tanggung jawab individu. Indikasinya pun jelas: pembayaran premi untuk mendapat layanan kesehatan.
Kedua, sistem ini mengadopsi pendekatan diskriminatif. Misalnya, ada pembedaan antara peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan peserta non-PBI. Sistem ini juga mengenal pembagi kelas dalam pemberian layanan: klas III, II, dan I. Bila pekerja ingin mendapatkan layanan kesehatan di kelas III, besaran iuran Rp 25.000, kelas II Rp 42.500 dan kelas I Rp 59.000 per bulan.
Ketiga, sistem ini hanya memobilisasi dana dari rakyat, yang jumlah mencapai ratusan triliun rupiah, untuk diinvestasikan. Artinya, ini hanya strategi dari rezim neoliberal untuk menarik dana dari rakyat untuk kepentingan akumulasi kapital.
Jadi jelas, sistem JKN ini bertolak belakang dengan konstitusi kita. Di dalam konstitusi kita ditegaskan, bahwa kesehatan adalah hak dasar rakyat yang wajib diberikan oleh negara. Artinya, setiap warga negara Indonesia, baik kaya maupun miskin, tidak boleh dirintangi haknya mendapatkan layanan kesehatan berkualitas hanya karena faktor biaya.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Amerika Latin sana, sejumlah negara berhasil menjalankan revolusi di dunia kesehatan. Sebut saja: Kuba, Venezuela, dan Ekuador. Di ketiga negara berhaluan kiri itu, kesehatan dinyatakan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara.
/2
Di Kuba, begitu revolusi dimenangkan tahun 1959, kesehatan menjadi prioritas kunci pemerintah. Anggaran negara dimobilisasi untuk menyediakan akses kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Pemerintah Kuba mengangkat panji-panji “kesehatan buat semua”.
Konstitusi Kuba tegas mengamanatkan: ‘setiap orang memiliki hak untuk diperhatikan dan dilindungi kesehatannya. Negara menjamin hak ini: melalui penyediaan rumah sakit dan layanan kesehatan gratis… melalui penyediaan pemeriksaan gigi gratis; melalui pembangunan layanan kebersihan; pendidikan kesehatan, uji pemeriksaan kesehatan secara periodik, vaksinasi umum, dan tindakan-tindakan pencegahan medis lainnya.’
Karena itu, sejak revolusi hingga sekarang, anggaran kesehatan Kuba tidak pernah di bawah 10% dari anggaran nasionalnya. Bahkan, pada tahun 2010, pemerintah Kuba menganggar 14,5% untuk memastikan seluruh rakyatnya bisa berobat gratis. Bandingkan dengan Indonesia: sejak tahun 2003 hingga 2013, anggaran kesehatan hanya rata-rata 2% dari APBN.
Jadinya, di Kuba, sebagai realisasi dari perintah konstitusi, setiap warga negara Kuba–tanpa melihat latar-belakang ekonominya (kaya-miskin), jabatan, ataupun warna kulit–berhak dan bebas mengakses layanan kesehatan berkualitas tanpa dipungut biaya.
Alhasil, berkat konsistensi negara terhadap konstitusinya, peranan pemerintah dalam layanan kesehatan berhasil menjangkau 99% penduduknya. Sistem kesehatannya pun sangat revolusioner. Para dokter tinggal di komunitas yang dilayaninya. Jadi, bukan rakyat yang mendatangi dokter, tapi dokter ada di tengah-tengah rakyat.
Tak hanya itu, sistem kesehatan Kuba didukung oleh dokter-dokter yang punya dedikasi kepada rakyat. Sebelum revolusi, Kuba hanya punya 6.286 dokter. Itupun, ketika terjadi revolusi, sebanyak 3000-an dokter memilih keluar dan bekerja di AS. Alhasil, Kuba mengalami krisis tenaga dokter.
Tetapi pemerintahan revolusioner tidak menyerah. Pemerintah kemudian menggelontorkan dana untuk membangun sekolah-sekolah kedokteran dan siapapun bisa mendaftar tanpa dipungut biaya sepeser pun. Alhasil, anak-anak dari keluarga miskin pun bisa mengakses pendidikan kedokteran. Dan sebagai konsekuensinya, ilmu kedokteran dan profesi dokter bukanlah lagi sesuatu yang ekslusif.
Hari ini, Kuba punya 24 Sekolah Kedokteran di 13 Provinsi di Kuba–semasa rezim Batista Kuba hanya punya 1 sekolah Kedokteran. Selain itu, Kuba punya 43 professor kedokteran untuk mengajar di sekolah-sekolah tersebut. Sejak 1959, sudah 109.000 dokter yang dihasilkan Kuba. Alhasil, Kuba punya rasio dokter dibanding jumlah penduduk merupakan tertinggi di dunia: 1 dokter melayani 148 orang. Bandingkan dengan AS: satu dokter melayani 480 orang.
Inilah yang membuat derajat kesehatan Kuba terbaik di dunia. Angka Harapan Hidup orang Kuba meningkat pesat: dari 58.8 tahun sebelum revolusi (1959) menjadi 78 tahun sekarang ini. Angka kematian bayi di Kuba termasuk terendah di dunia: 4,9 per 1000 kelahiran.
/3
Venezuela punya sumber daya alam yang melimpah. Terutama minyak dan gas bumi. Di masa kekuasaan rezim neoliberal, kekayaan minyak dan gas Venezuela mengalir ke luar negeri melalui korporasi asing. Cecerannya hanya dinikmati segelintir elit Venezuela.
Saat itu, kendati minyak dan gas Venezuela mendatangkan keuntungan berlimpah, tetapi mayoritas rakyatnya tidak bisa mengakses kebutuhan dasarnya. Termasuk layanan kesehatan. Layanan kesehatan sangat mahal, diskriminatif, dan beriorientasi profit.
Sebelum Chavez menang, anggaran kesehatan selalu di bawah 2% dari PDB. Saat itu, jumlah rakyat Venezuela yang bisa mengakses layanan kesehatan dasar hanya 21,5%. Tak hanya itu, ada 21% penduduk Venezuela yang kekurangan gizi. Privatisasi kesehatan di Venezuela menyuburkan layanan kesehatan yang sekedar mencari laba. Kesehatan hanya bisa diakses dengan kartu kredit dan asuransi. Klinik dan rumah sakit swasta menjamur. Tentunya dengan biaya selangit. Sedangkan rumah sakit umum, yang tarifnya lebih murah, kebanjiran pengunjung.
Begitu Chavez berkuasa, revolusi pun menjangkau sektor kesehatan. Melalui konstitusi yang disahkan tahun 1999, kesehatan dinyatakan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Lalu, seiring dengan mandat konstitusi, Chavez mendeklarasikan “sistem kesehatan baru”, yang dimaksudkan untuk mendemokratiskan layanan kesehatan dan menjadikan kesehatan sebagai hak rakyat paling fundamental.
Pada tahun 2000, Chavez lansung meluncurkan proyek Bolivar 2000, dengan dukungan militer, yang memberikan layanan kesehatan bagi mereka yang paling membutuhkan. Program ini diprioritaskan untuk mereka yang selama bertahun-tahun menunggu operasi tapi tidak pernah ada uang dan kesempatan yang diberikan oleh negara.
Pada tahun 2003, Chavez meluncurkan program Barrio Adentro I, yakni pembukaan klinik-klinik kesehatan di komunitas. Klinik-klinik ini memberikan layanan kesehatan kepada rakyat di setiap perkampungan (barrio) tanpa dipungut biaya. Kemudian, pada tahun 2005, Chavez meluncurkan misi Barrio Adentro II, yakni pembangunan klinik kesehatan yang disebut “Pusat Diagnosa Komprehensif (CDI)”, yang dilengkapi teknologi, dokter spesialis, dan lain-lain.
Sebelum Chavez berkuasa, Venezula butuh empat dekade untuk membangun 5,081 klinik kesehatan. Di era Chavez, 13 tahun revolusi Bolivarian berhasil membangun 13,721 klinik kesehatan. Pembukaan klinik-klinik kesehatan gratis itu membuat mayoritas rakyat Venezuela bisa mengakses layanan kesehatan berkualitas. Tahun 1997, hanya 21% rakyat Venezuela yang mengakses layanan kesehatan dasar. Pada tahun 2007, hanya 8 tahun setelah Revolusi, sebanyak 95% rakyat Venezuela bisa mengakses layanan kesehatan.
Layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah ini juga berkualitas dan memuaskan rakyat. Survei dari Institut Statistik Nasional (INE) menyebutkan, sebanyak  81.8% menggunakan sistem kesehatan publik. Survei juga menyebutkan, sebanyak 93.5% rakyat Venezuela pernah menggunakan layanan Barrio Adentro.
Selain misi Barrio Adentro, sejak tahun 2004 lalu, Venezuela juga meluncurkan misi Miracle yang memberikan pengobatan gratis kepada 1,5 juta rakyat Venezuela yang menderita penyakit katarak atau penyakit mata lainnya. Pada tahun 2008, Chavez juga punya misi sosial untuk para penyandang cacat. Pada tahun 2010, Venezuela juga meluncurkan “Smile Mission”, yang memberikan layanan gratis untuk kesehatan gigi rakyat.
Tak hanya itu, untuk mencetak tenaga dokter, Chavez membuka pintu-pintu Universitas selebar-lebarnya agar rakyat bisa belajar ilmu kedokteran. Ini dicapai melalui mission Sucre, yang memberikan kesempatan pemuda-pemuda untuk belajar di Universitas dengan biaya gratis. Kemudian, melalui Medicina Integral Comunitaria (MIC) alias Universitas Tanpa Tembok, pemerintah menyelenggarakan kursus kesehatan gratis, yang menyeimbangkan antara teori dan praktek, di semua klinik Barrio Adentro. Melalui program ini, anak-anak muda dan rakyat biasa di sekitar klinik diajari sistim pengobatan komprehensif berbasis komunits.
Dengan program itu, Venezuela mencetak tenaga dokter revolusioner, yang siap bekerja layaknya petugas sosial dimanapun. Saat ini, rasio dokter di Venezuela meningkat dari 20 orang dokter per 100.000 penduduk pada 1999 menjadi 80 orang dokter per 100,000 penduduk pada 2010, atau meningkat hingga 400 persen.
/4
Sekarang kita menjenguk sistem kesehatan di Ekuador.
Sebelum Rafael Correa, seorang ekonom progressif, berkuasa di tahun 2007, sistem kesehatan Ekuador babak belur akibat neoliberalisme. Neoliberalisme bekerja dalam tiga pilar: pemberlakuan fleksibilitas tenaga kerja kesehatan, privatisasi layanan kesehatan, dan outsourcing pemberian layanan kesehatan.
Tahun 2008, setahun setelah Correa berkuasa, konstitusi baru disetujui. Konstitusi baru ini menuntut reformasi radikal terhadap sistem kesehatan Ekuador yang neoliberal. Pasal 32 konstitusi baru itu menegaskan, “kesehatan adalah hak yang dijamin oleh negara dan pemenuhannya terkait dengan pemenuhan hak yang lain, seperti hak atas air, pangan, pendidikan, olahraga, pekerjaan, jaminan sosial, kesehatan lingkungan dan segala hal yang mempromosikan kesejahteraan.”
Yang menarik, konstitusi Ekuador tidak memisahkan persoalan pemenuhan hak kesehatan rakyat dengan hak-hak dasar lainnya. Artinya, hak atas kesehatan tidak hanya dimaknai bahwa rakyat harus sehat, tetapi juga sebagai bagian integral untuk mensejahterakan rakyat.
Selain itu, konstitusi Ekuador juga menjelaskan, “kesehatan sebagai layanan publik harus disediakan oleh negara, swasta, lembaga otonom, komunitas serta orang-orang yang punya keahlian dalam pengobatan alternatif dan leluhur.” Artinya, sistem pengobatan tradisional maupun alternatif diakui sebagai bagian dari layanan kesehatan publik. Dengan menegaskan kesehatan sebagai layanan publik, konstitusi Ekuador telah berhasil membebaskan layanan kesehatan dari dekapan kekuatan pasar.
Sebagai bentuk pelaksanaan terhadap perintah konstitusi, pemerintahan Rafael Correa telah menggelontorkan dana besar. Sejak berkuasa 6 tahun lalu, investasi publik untuk layanan kesehatan mencapai 9 milyar USD. Sebelumnya, empat periode rezim kanan berkuasa hanya mengeluarkan 2,6 milyar USD untuk anggaran kesehatan. Sebagian besar anggaran jatuh untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur rumah sakit di seantero Ekuador.
Pada tahun 2006, pemerintah baru sanggup melayani 12 juta perawatan medis. Pada tahun 2012, angkanya sudah mencapai 40 juta. Kemudian, ada 116 ribu konsultasi kesehatan per harinya di sistem kesehatan publik Ekuador. Kendati demikian, sistem kesehatan publik Ekuador baru mengcakup 51% dari total penduduknya.
Untuk menopang layanan kesehatan publik, ada 140 rumah sakit publik yang sudah disiapkan. 22 rumah sakit baru sedang dalam pembangunan dan 24 rumah sakit lama sedang direnovasi. Semua itu diciptakan untuk melayani 15 juta penduduk Ekuador.
Untuk menciptakan tenaga dokter, pemerintah menyediakan beasiswa besar-besaran bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan kedokteran. Tak hanya itu, pemerintah Ekuador punya program bernama “Ecuador Saludable, Vuelvo por ti (Ekuador Sehat, Aku Kembali Untukmu) untuk memanggil pulang dokter-dokter dan tenaga ahli Ekuador yang bekerja di luar negeri.
/5
Kalau kita lihat, tiga negara Amerika Latin itu harus merombak konstitusi untuk mengembalikan kesehatan sebagai hak rakyat. Sedangkan di Indonesia, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, konstitusi kita sudah menggariskan kesehatan sebagai hak rakyat.
Hanya saja, karena mental komprador di kalangan elit kita, perintah konstitusi terus diabaikan. Malahan, rezim komprador ini membuat aturan baru yang sama sekali berlawanan dengan konstitusi. Contohnya: UU SJSN dan UU BPJS.
Yang kedua, basis bagi ketiga negara itu untuk menjalankan layanan kesehatan gratis kepada rakyatnya beragam. Kuba, misalnya, mengandalkan sumber daya ekonomi dan mobilisasi rakyatnya. Sedangkan Venezuela dan Ekuador sangat bergantung pada keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas.
Nah, ada masalah dengan Indonesia. Keuntungan dari penerimaan pajak, terutama dari rakyat, lebih banyak dipakai untuk membiayai birokrasi. Sementara keuntungan dari pengelolaan SDA tidak pernah dinikmati oleh rakyat karena mengalir keluar melalui kantong korporasi asing.
Pertanyaannya kemudian, relakah kita merogoh kantong kita untuk membayar layanan kesehatan yang notabene hak dasar kita? Bukankah kita sudah membayar beragam pajak untuk menambah pundi-pundi negara. Kalau toh sekarang layanan kesehatan harus kita bayar, terus dikemanakan uang pajak dan keuntungan dari pengelolaan kekayaan alam bangsa kita?
Ulfa Ilyas

Continue Reading...

Bertekuk Lutut Di Hadapan Korporasi Asing


Lima tahun lalu, Indonesia punya mimpi untuk membuat sejarah baru dalam industri pengelolaan mineral dan batubara nasional. Hal itu termaktub dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Beleid itu bercita-cita untuk mendorong hilirisasi di sektor mineral.
Sejak jaman kolonial hingga sekarang, tata kelola sektor minerba kita tidak banyak berubah. Tetap saja kita menjadi pengekspor mineral mentah. Istilah teknisnya adalah ore atau gundukan tanah berisi mineral. Jadi, selama beratus-ratus tahun berjuta-juta ton gundukan tanah berisi tembaga, emas, mangan, bauksit, dan lain-lain, diangkut begitu saja dari negeri ini ke negara-negara kapitalis maju. Di sanalah gundukan tanah itu diolah menjadi bahan tertentu dengan nilai tambah lebih besar.
Ironisnya, setelah diolah menjadi bahan tertentu di luar negeri sana, tentunya dengan nilai tambah yang jauh lebih besar, kita kembali membelinya. Sebagai contoh, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) harus mengimpor 500 ribu ton alumina dari Australia. Padahal, bauksit sebagai bahan baku alumina banyak ditemui di negeri kita. Atau contoh lainnya, industri stainless steel di dalam negeri banyak mengimpor feronikel dari Tiongkok. Padahal, Tiongkok sendiri memproduksi feronikel dengan memaanfakan bahan baku berupa nikel dari Indonesia.
Makanya, ketika pemerintah menghembuskan mimpi hilirisasi mineral, kita pun langsung terbuai. Pertama, ekonomi nasional kita akan segera mendapat nilai tambah jangka panjang dari proses pengolahan mineral. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja baru. Ketiga, ada basis untuk memberi kerangka industrialisasi nasional kita. Dan yang paling pokok: salah satu mata rantai dari ciri ekonomi kolonial, yakni ekstraktivisme, pelan-pelan akan kita putus.
Tak mengherankan, menjelang detik-detik pemberlakuan UU Minerba itu, yakni tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang memberikan perlawanan sengit. Mereka mengajukan proposal relaksasi untuk menunda pemberlakuan UU tersebut. Bahkan, dua raksasa tambang asing, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menebar ancaman berupa PHK massal. Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Ancaman pengusaha itu terbukti efektif. Terbukti, nyali pemerintah pun langsung ciut. Beberapa detik menjelang tempo pemberlakuan UU Minerba, pemerintah menggelar rapat dadakan pada Sabtu (11/1/2013) malam. Rapat dadakan itulah yang melahirkan PP nomor 1 tahun 2014 tentang Minerba dan diikuti dengan Permen ESDM nomor 1 tahun 2014.
Kedua aturan baru itu sangat kompromistis. Aturan tersebut masih membolehkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat hingga tahun 2017. Ada enam komiditi mineral yang boleh diekspor dalam bentuk konsentrat, yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan.
Untuk diketahui, konsentrat belumlah produk pemurnian. Padahal, UU Minerba pasal 170 tegas mengatakan, pemegang kontrak karya (KK) yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian. Jelas, PP yang diteken oleh Presiden SBY tersebut melanggar UU minerba.
Dengan ketentuan itu, sebanyak  66 perusahaan pertambangan–termasuk PT Freeport Indonesia dan Newmont–masih dibebaskan mengekspor mineral mentah hingga 2017. Sembari menunggu “itikad baik” perusahaan tersebut membangun pabrik pemurnian (smelter) hingga 2017.
Yang sangat menjijikkan adalah soal bagaimana pemerintah mengakali UU Minerba agar tetap ada celah bagi perusahaan asing, khususnya PT. Freeport dan Newmont, untuk mengekspor mineral mentah, khususnya tembaga. Untuk diketahui, dalam aturan sebelumnya (Permen ESDM No 20/2013), konsentrat tembaga yang bisa diekspor harus berkadar Cu 99,99 persen, sedang pemurnian tembaga hingga 99 persen.
Pada kenyataannya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara sejauh ini hanya mengolah konsentrat berkadar tembaga 30 persen-40 persen serta memurnikan 30 persen-40 persen dari total produksi per tahun. Maka, untuk memberi kelonggaran kepada Freeport dan Newmont, aturan mengenai kadar minimal olahan tembaga itu diubah: Untuk pemegang KK, kadar minumum konsentrat tembaga dipatok 30%, sedangkan untuk pemegang IUP dipatok 15%.
Alasan pemerintah di balik pelonggaran ini klise. Menurut pemerintah, kendati masih berbentuk konsentrat, tetapi sudah ada proses pengolahan dan penciptaan nilai tambah di dalamnya. Ini jelas akal-akalan pemerintah saja. Sebab, jika mengacu ke UU Minerba, pemegang KK itu diwajibkan pemurnian.
Dengan adanya pelonggaran itu, PT. Freeport dan Newmont–yang menguasai sekitar 97% produksi tembaga Indonesia–tetap bebas mengekspor mineral mentah Indonesia. Anehnya, kelonggaran itu tidak berlaku bagi perusahaan tambang yang mengekspor bauksit dan nikel. Akibatnya, PT. Aneka Tambang TBK, salah satu BUMN yang bergerak dalam ekspor nikel, harus mengelus dada.
Jadinya, PP nomor 1 tahun 2014 ini hanyalah “akal-akalan” pemerintah untuk mencegah efektinya UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba dan sekaligus memberikan celah bagi PT. Freeport dan Newmont untuk melanjutkan ekspor mineral olahan. Yang jadi masalah besar, pemerintah mengakali UU Minerba untuk memulusukan kepentingan perusahaan asing.
Di sini kita juga melihat betapa kompromisnya pemerintah Indonesia terhadap perusahaan asing. Dalam pembangunan smelter, misalnya. Kendati sudah diberi tenggat waktu lima tahun, tetapi perusahaan asing itu tak serius membangun smelter. Alasan mereka: waktunya terlalu singkat. Padahal, dalam kasus Freeport, misalnya, mereka sudah mengeruk kekayaan alam Indonesia sejak tahun 1967. Dan tiap bulannya, dari perut bumi Papua, Freeport mengeruk untung ratusan miliar rupiah perhari. Ironisnya, selama ini Freeport hanya membayar royalti 1% untuk  emas dan 3,75% untuk tembaga kepada pemerintah Indonesia.
Tak mengherankan, terbitnya PP nomor 1 tahun 2014, yang kembali memberi kelonggaran kepada Freeport dan Newmont, membuat kita mengelus dada: betapa pemerintah Indonesia memang tak punya nyali dihadapan kedua raksasa tambang asal Amerika serikat tersebut. Sebelumnya, rezim SBY juga gagal mendudukkan kedua korporasi raksasa itu untuk renegosiasi kontrak karya. Lengkaplah sudah. Rezim SBY sudah resmi bertekuk lutut di hadapan korporasi asing!
Continue Reading...

Jumat, 29 November 2013

SIARAN PERS



SIARAN PERS
TOLAK PENGGUSURAN WARGA KAMPUNG TAMAN BURUNG, KEL.PLUIT, KEC.PENJARINGAN, JAKARTA UTARA!

Proyek normalisasi waduk Pluit yang telah berlangsung sejak awal tahun 2013 ini telah mendekati selesai. Lebih dari 1500 kepala keluarga telah digusur, dan saat ini terdapat seribuan jiwa warga yang mendiami 397 rumah di Kampung Taman Burung, Kel. Pluit, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara, yang tetap bertahan menolak membongkar tempat tinggalnya.

Penolakan ini bukan tanpa alasan, selain karena tidak pernah terjadi dialog yang serius antara warga dengan pemerintah, juga terdapat kejanggalan pada lokasi yang oleh aparat pemerintah disebutkan sebagai tanah negara dan jalur hijau (PHU) ini.Kejanggalan yang dimaksud adalah: 1)letak lahan yang sebenarnya berada di luar lahan proyek normalisasi waduk Pluit; dan 2) ketidak jelasan fungsi lahan yang disebut sebagai jalur hijau (PHU) namun kenyataannya terdapat sejumlah apartemen dan sekolah di jalur yang sama dengan pemukiman warga yang sama sekali tidak terancam penggusuran.

Selebihnya, dalam negosiasi yang dilakukan oleh aparat Kelurahan dan Polsek setempat belum ada kata sepakat. Pihak Kelurahan, Polsek, maupun Koramil, menawarkan ‘solusi informal’ berupa sejumlah uang (5 juta rupiah) kepada warga yang bersedia angkat kaki dari tanah tersebut. Tapi tawaran informal yang disertai intimidasi ini tidak dapat menjelaskan bagaimana warga melanjutkan kehidupannya pasca penggusuran.

Lahan tersebut merupakan lahan milik negara. Dalam pemahaman kami, sudah seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau setidaknya digunakan untuk mempertahankan kondisi ekonmi rakyat agar tidak semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan akibat digusur.

Warga sangat mendukung Program Pemerintah Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur) DKI Jakarta menuju Jakarta Baru. Tapi tentunya kita menginginkan Jakarta Baru yang memanusiakan manusia, Jakarta Baru tanpa penggusuran, dan kesewenang-wenangan terhadap rakyat miskin.

Kami menghimbau Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk membuka pintu dialog yang seluas-luasnya bagi warga, dan bersama-sama mencarikan solusi yang Adil dan Beradab bagi warga Taman Burung. Pentingnya peran pemerintah di sini karena keberadaan warga di Taman Burung sejak tahun 1980-an merupakan akibat dari kelemahan-kelemahan pemerintah di masa lalu, baik dalam menjamin kehidupan yang layak bagi warga di tempat tinggal asal mereka sebelumnya, juga kelemahan dalam menegakkan aturan tentang peruntukan lahan dan konsistensi menjaga aturan tersebut tanpa pilih kasih antara pemodal dan rakyat jelata.

Salah satu instrumen pokok hak asasi manusia (HAM) ini memastikan bahwa tiap manusia dijamin haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak atas tempat tinggal, hak atas kerja, hak atas kondisi kerja yang layak, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan lain-lain. Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak tersebut kepada warganya.

Dalam UUD1945 sendiri juga sudah di jelaskan di Pasal 28H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Untuk itu kami menuntut Kepada Gubernur DKI Jakarta:

1.   Hentikan penggusuran atas warga kampung Taman Burung, Kel. Pluit, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara.
2.   Segera bentuk RT dan RW di Taman Burung, Kel. Pluit, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara.
3.   Stop Intimidasi yang dilakukan Aparat Kepolisian, TNI, Lurah dan Camat.
4.   Laksanakan Pasal 33 UUD 1945.
5.   Tegakan Undang-Undang Pokok AgrariaNo.5 Tahun 1960.
6.   Bentuk Tim Partisipatif Penyelesaian Konflik Agraria di DKI Jakarta.

“ Bangun dan Perluas Organisasi untuk Indonesia yang Mandiri, Berdaulat dan Berkepribadian”

Jakarta, 29 November 2013

Koordinator Lapangan;




Hendri Anggoro

Mengetahui;

Dewan Pimpinan Nasional - Serikat Rakyat Miskin Indonesia (DPN - SRMI)

Ketua Umum




(Wahida Baharuddin Upa)
Sekertaris Jendral




(Iskohar)
Continue Reading...
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia