Minggu, 26 Januari 2014

Bertekuk Lutut Di Hadapan Korporasi Asing


Lima tahun lalu, Indonesia punya mimpi untuk membuat sejarah baru dalam industri pengelolaan mineral dan batubara nasional. Hal itu termaktub dalam UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba. Beleid itu bercita-cita untuk mendorong hilirisasi di sektor mineral.
Sejak jaman kolonial hingga sekarang, tata kelola sektor minerba kita tidak banyak berubah. Tetap saja kita menjadi pengekspor mineral mentah. Istilah teknisnya adalah ore atau gundukan tanah berisi mineral. Jadi, selama beratus-ratus tahun berjuta-juta ton gundukan tanah berisi tembaga, emas, mangan, bauksit, dan lain-lain, diangkut begitu saja dari negeri ini ke negara-negara kapitalis maju. Di sanalah gundukan tanah itu diolah menjadi bahan tertentu dengan nilai tambah lebih besar.
Ironisnya, setelah diolah menjadi bahan tertentu di luar negeri sana, tentunya dengan nilai tambah yang jauh lebih besar, kita kembali membelinya. Sebagai contoh, PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) harus mengimpor 500 ribu ton alumina dari Australia. Padahal, bauksit sebagai bahan baku alumina banyak ditemui di negeri kita. Atau contoh lainnya, industri stainless steel di dalam negeri banyak mengimpor feronikel dari Tiongkok. Padahal, Tiongkok sendiri memproduksi feronikel dengan memaanfakan bahan baku berupa nikel dari Indonesia.
Makanya, ketika pemerintah menghembuskan mimpi hilirisasi mineral, kita pun langsung terbuai. Pertama, ekonomi nasional kita akan segera mendapat nilai tambah jangka panjang dari proses pengolahan mineral. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja baru. Ketiga, ada basis untuk memberi kerangka industrialisasi nasional kita. Dan yang paling pokok: salah satu mata rantai dari ciri ekonomi kolonial, yakni ekstraktivisme, pelan-pelan akan kita putus.
Tak mengherankan, menjelang detik-detik pemberlakuan UU Minerba itu, yakni tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang memberikan perlawanan sengit. Mereka mengajukan proposal relaksasi untuk menunda pemberlakuan UU tersebut. Bahkan, dua raksasa tambang asing, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, menebar ancaman berupa PHK massal. Freeport mengancam akan memecat 100.000 pekerjanya. Sementara Newmont mengancam akan memecat 30.000 karyawannya.
Ancaman pengusaha itu terbukti efektif. Terbukti, nyali pemerintah pun langsung ciut. Beberapa detik menjelang tempo pemberlakuan UU Minerba, pemerintah menggelar rapat dadakan pada Sabtu (11/1/2013) malam. Rapat dadakan itulah yang melahirkan PP nomor 1 tahun 2014 tentang Minerba dan diikuti dengan Permen ESDM nomor 1 tahun 2014.
Kedua aturan baru itu sangat kompromistis. Aturan tersebut masih membolehkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk konsentrat hingga tahun 2017. Ada enam komiditi mineral yang boleh diekspor dalam bentuk konsentrat, yakni tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal, dan mangan.
Untuk diketahui, konsentrat belumlah produk pemurnian. Padahal, UU Minerba pasal 170 tegas mengatakan, pemegang kontrak karya (KK) yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian. Jelas, PP yang diteken oleh Presiden SBY tersebut melanggar UU minerba.
Dengan ketentuan itu, sebanyak  66 perusahaan pertambangan–termasuk PT Freeport Indonesia dan Newmont–masih dibebaskan mengekspor mineral mentah hingga 2017. Sembari menunggu “itikad baik” perusahaan tersebut membangun pabrik pemurnian (smelter) hingga 2017.
Yang sangat menjijikkan adalah soal bagaimana pemerintah mengakali UU Minerba agar tetap ada celah bagi perusahaan asing, khususnya PT. Freeport dan Newmont, untuk mengekspor mineral mentah, khususnya tembaga. Untuk diketahui, dalam aturan sebelumnya (Permen ESDM No 20/2013), konsentrat tembaga yang bisa diekspor harus berkadar Cu 99,99 persen, sedang pemurnian tembaga hingga 99 persen.
Pada kenyataannya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara sejauh ini hanya mengolah konsentrat berkadar tembaga 30 persen-40 persen serta memurnikan 30 persen-40 persen dari total produksi per tahun. Maka, untuk memberi kelonggaran kepada Freeport dan Newmont, aturan mengenai kadar minimal olahan tembaga itu diubah: Untuk pemegang KK, kadar minumum konsentrat tembaga dipatok 30%, sedangkan untuk pemegang IUP dipatok 15%.
Alasan pemerintah di balik pelonggaran ini klise. Menurut pemerintah, kendati masih berbentuk konsentrat, tetapi sudah ada proses pengolahan dan penciptaan nilai tambah di dalamnya. Ini jelas akal-akalan pemerintah saja. Sebab, jika mengacu ke UU Minerba, pemegang KK itu diwajibkan pemurnian.
Dengan adanya pelonggaran itu, PT. Freeport dan Newmont–yang menguasai sekitar 97% produksi tembaga Indonesia–tetap bebas mengekspor mineral mentah Indonesia. Anehnya, kelonggaran itu tidak berlaku bagi perusahaan tambang yang mengekspor bauksit dan nikel. Akibatnya, PT. Aneka Tambang TBK, salah satu BUMN yang bergerak dalam ekspor nikel, harus mengelus dada.
Jadinya, PP nomor 1 tahun 2014 ini hanyalah “akal-akalan” pemerintah untuk mencegah efektinya UU nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba dan sekaligus memberikan celah bagi PT. Freeport dan Newmont untuk melanjutkan ekspor mineral olahan. Yang jadi masalah besar, pemerintah mengakali UU Minerba untuk memulusukan kepentingan perusahaan asing.
Di sini kita juga melihat betapa kompromisnya pemerintah Indonesia terhadap perusahaan asing. Dalam pembangunan smelter, misalnya. Kendati sudah diberi tenggat waktu lima tahun, tetapi perusahaan asing itu tak serius membangun smelter. Alasan mereka: waktunya terlalu singkat. Padahal, dalam kasus Freeport, misalnya, mereka sudah mengeruk kekayaan alam Indonesia sejak tahun 1967. Dan tiap bulannya, dari perut bumi Papua, Freeport mengeruk untung ratusan miliar rupiah perhari. Ironisnya, selama ini Freeport hanya membayar royalti 1% untuk  emas dan 3,75% untuk tembaga kepada pemerintah Indonesia.
Tak mengherankan, terbitnya PP nomor 1 tahun 2014, yang kembali memberi kelonggaran kepada Freeport dan Newmont, membuat kita mengelus dada: betapa pemerintah Indonesia memang tak punya nyali dihadapan kedua raksasa tambang asal Amerika serikat tersebut. Sebelumnya, rezim SBY juga gagal mendudukkan kedua korporasi raksasa itu untuk renegosiasi kontrak karya. Lengkaplah sudah. Rezim SBY sudah resmi bertekuk lutut di hadapan korporasi asing!
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia