Pernyataan Sikap
Cabut UU SJSN
dan UU BPJS!
Laksanakan
Pasal 33 UUD 1945 Untuk Kesehatan Rakyat Gratis!
Sejak mulai
diberlakukan tanggal 1 Januari 2014 lalu, Sistim Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) menciptakan banyak masalah. Tidak hanya soal administrasi yang rumit dan
berbelit-belit, juga layanan rumah sakit yang kacau-balau, tetapi juga
banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin.
Namun,
persoalan mendasar JKN ini bukan terletak pada teknis pelayanan, melainkan di
kerangka berpikir yang mendasari pelaksanaan sistem ini, yakni UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan
UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
Pertama, penggunaan kata “Jaminan Sosial” sebetulnya
menyesatkan. Sebab, istilah “Jaminan Sosial” mengisyaratkan negara-lah yang
menjamin dan menanggung urusan/biaya kesehatan rakyat. Pada kenyatannya, pada
sistem JKN/SJSN, layanan kesehatan hanya diberikan kepada peserta (bukan
konsep: warga negara) yang terdaftar
dan membayar iuran.
Kedua, sistim JKN/SJSN ini mengalihkan tanggung-jawab
negara dalam urusan kesehatan rakyat menjadi tanggung-jawab individu. Buktinya
sangat jelas. Silahkan lihat bunyi pasal 17 ayat (1) UU SJSN: “Setiap
peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase
dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.” Artinya, untuk mendapat layanan kesehatan,
setiap warga negara harus menjadi peserta BPJS dan membayar iuran.
Ketiga, sistim JKN/SJSN
mengenalkan pembedaan/diskriminasi dalam layanan kesehatan, misalnya pembedaan
peserta antara PBI (Penerima Bantuan Iuran/golongan fakir-miskin dan ‘tidak
mampu’) dan non-PBI (golongan ‘mampu’ dan kaya). Selain itu, ada pembedaan
dalam bentuk layanan sesuai dengan besaran iuran: klas I untuk pembayar iuran
Rp 59.500,- per bulan; klas II untuk pembayar iuran Rp 42.500 per bulan; dan
klas III untuk pembayar iuran Rp 25.500,- per bulan.
Padahal, jika merujuk ke
konstitusi (UUD 1945) dan prinsip kesehatan Universal, seharusnya pemberian
layanan kesehatan itu tidak mengenal pembedaan kaya-miskin, jabatan/pangkat,
dan lain-lain. Layanan kesehatan universal bermakna siapapun, tanpa memandang
status sosial, ekonomi, dan politiknya, berhak mendapat layanan kesehatan yang
sama dan berkualitas.
Pembentukan badan khusus untuk melaksanakan jaminan
sosial, yakni BPJS, justru cenderung mengarah ke privatisasi. Maksudnya,
tanggung jawab negara—dalam hal ini pemerintah—dialihkan ke lembaga tertentu
yang mirip perusahaan. Selain itu, pembentukan BPJS juga lebih banyak
pemborosan: pembayaran gaji Direksi dan karyawan, pengadaan gedung dan
fasilitasnya, biaya operasional dan lain-lain. Kenapa anggaran yang besar itu
tidak dipakai untuk membangun infrastruktur kesehatan, seperti rumah sakit dan
puskemas.
Lebih parah lagi, BPJS punya kewenangan untuk
menggunakan aset BPJS (dana APBN dan iuran peserta) untuk instrumen investasi
(pasal 41 ayat 2 UU BPJS). Artinya, program JKN/BPJS ini hanyalah cara rezim
neoliberal untuk memobilisasi uang rakyat untuk menopang proses akumulasi
kapital di sektor keuangan.
Selain itu, BPJS ini merupakan lembaga yang hanya
dikontrol oleh 7 orang Dewan Pengawas. Sudah begitu, Dewan Pengawas ini
diangkat dan bertanggung-jawab kepada Presiden. Dengan demikian, pengelolaan
dana APBN/iuran rakyat di tangan BPJS berpotensi menciptakan lubang korupsi
besar-besaran. Bahkan, ada dugaan sebagian pihak, bahwa dana BPJS bisa
diselewengkan untuk kepentingan pemilu.
Dengan berbagai kerancuan konsep berfikir di atas,
dapat disimpulkan bahwa JKN/SJSN sangat melenceng jauh dari prinsip pelayanan
kesehatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila. Bagi
kami, jaminan kesehatan kepada rakyat seharusnya memudahkan akses rakyat
terhadap layanan kesehatan dan bisa mendorong kesejahteraan. Pada kenyatannya,
KJN/SJSN ini malah membebani rakyat dengan kewajiban membayar iuran dan layanan
yang diskriminatif.
Berikut beberapa tuntutan kami:
1.
Cabut UU SJSN
dan UU BPJS karena bertolak-belakang dengan prinsip konstitusi (UUD 1945) dan
Pancasila.
2.
Menyerukan
kepada semua Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota/Bupati) untuk menolak
melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS. Dan, untuk sementara, mereka mempertahankan
program Jamkesda yang sudah berjalan di daerah masing-masing.
3.
Menyerukan kepada
dokter dan paramedis agar menuntut kepada pemerintah pusat untuk segera
mencabut UU BPJS dan SJSN
4.
Laksanakan
Pasal 33 UUD 1945 sebagai basis untuk menyelenggarakan sistem kesehatan rakyat
gratis dan berkualitas.
Jakarta,
18 Februari 2013