Kamis, 20 Februari 2014

Cabut UU SJSN dan UU BPJS!



Pernyataan Sikap
Cabut UU SJSN dan UU BPJS!
Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 Untuk Kesehatan Rakyat Gratis!
Sejak mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2014 lalu, Sistim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menciptakan banyak masalah. Tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit-belit, juga layanan rumah sakit yang kacau-balau, tetapi juga banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin.
Namun, persoalan mendasar JKN ini bukan terletak pada teknis pelayanan, melainkan di kerangka berpikir yang mendasari pelaksanaan sistem ini, yakni UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS).
Pertama, penggunaan kata “Jaminan Sosial” sebetulnya menyesatkan. Sebab, istilah “Jaminan Sosial” mengisyaratkan negara-lah yang menjamin dan menanggung urusan/biaya kesehatan rakyat. Pada kenyatannya, pada sistem JKN/SJSN, layanan kesehatan hanya diberikan kepada peserta (bukan konsep: warga negara) yang terdaftar dan membayar iuran.
Kedua, sistim JKN/SJSN ini mengalihkan tanggung-jawab negara dalam urusan kesehatan rakyat menjadi tanggung-jawab individu. Buktinya sangat jelas. Silahkan lihat bunyi pasal 17 ayat (1) UU SJSN: “Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.” Artinya, untuk mendapat layanan kesehatan, setiap warga negara harus menjadi peserta BPJS dan membayar iuran.
Ketiga, sistim JKN/SJSN mengenalkan pembedaan/diskriminasi dalam layanan kesehatan, misalnya pembedaan peserta antara PBI (Penerima Bantuan Iuran/golongan fakir-miskin dan ‘tidak mampu’) dan non-PBI (golongan ‘mampu’ dan kaya). Selain itu, ada pembedaan dalam bentuk layanan sesuai dengan besaran iuran: klas I untuk pembayar iuran Rp 59.500,- per bulan; klas II untuk pembayar iuran Rp 42.500 per bulan; dan klas III untuk pembayar iuran Rp 25.500,- per bulan.
Padahal, jika merujuk ke konstitusi (UUD 1945) dan prinsip kesehatan Universal, seharusnya pemberian layanan kesehatan itu tidak mengenal pembedaan kaya-miskin, jabatan/pangkat, dan lain-lain. Layanan kesehatan universal bermakna siapapun, tanpa memandang status sosial, ekonomi, dan politiknya, berhak mendapat layanan kesehatan yang sama dan berkualitas.
Pembentukan badan khusus untuk melaksanakan jaminan sosial, yakni BPJS, justru cenderung mengarah ke privatisasi. Maksudnya, tanggung jawab negara—dalam hal ini pemerintah—dialihkan ke lembaga tertentu yang mirip perusahaan. Selain itu, pembentukan BPJS juga lebih banyak pemborosan: pembayaran gaji Direksi dan karyawan, pengadaan gedung dan fasilitasnya, biaya operasional dan lain-lain. Kenapa anggaran yang besar itu tidak dipakai untuk membangun infrastruktur kesehatan, seperti rumah sakit dan puskemas.
Lebih parah lagi, BPJS punya kewenangan untuk menggunakan aset BPJS (dana APBN dan iuran peserta) untuk instrumen investasi (pasal 41 ayat 2 UU BPJS). Artinya, program JKN/BPJS ini hanyalah cara rezim neoliberal untuk memobilisasi uang rakyat untuk menopang proses akumulasi kapital di sektor keuangan.
Selain itu, BPJS ini merupakan lembaga yang hanya dikontrol oleh 7 orang Dewan Pengawas. Sudah begitu, Dewan Pengawas ini diangkat dan bertanggung-jawab kepada Presiden. Dengan demikian, pengelolaan dana APBN/iuran rakyat di tangan BPJS berpotensi menciptakan lubang korupsi besar-besaran. Bahkan, ada dugaan sebagian pihak, bahwa dana BPJS bisa diselewengkan untuk kepentingan pemilu.
Dengan berbagai kerancuan konsep berfikir di atas, dapat disimpulkan bahwa JKN/SJSN sangat melenceng jauh dari prinsip pelayanan kesehatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila. Bagi kami, jaminan kesehatan kepada rakyat seharusnya memudahkan akses rakyat terhadap layanan kesehatan dan bisa mendorong kesejahteraan. Pada kenyatannya, KJN/SJSN ini malah membebani rakyat dengan kewajiban membayar iuran dan layanan yang diskriminatif.
Berikut beberapa tuntutan kami:
1.   Cabut UU SJSN dan UU BPJS karena bertolak-belakang dengan prinsip konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila.
2.   Menyerukan kepada semua Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota/Bupati) untuk menolak melaksanakan UU SJSN dan UU BPJS. Dan, untuk sementara, mereka mempertahankan program Jamkesda yang sudah berjalan di daerah masing-masing.
3.   Menyerukan kepada dokter dan paramedis agar menuntut kepada pemerintah pusat untuk segera mencabut UU BPJS dan SJSN
4.   Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 sebagai basis untuk menyelenggarakan sistem kesehatan rakyat gratis dan berkualitas.

Jakarta, 18 Februari 2013
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia