Kamis, 04 Februari 2010

Pembubaran CGI & perubahan paradigma pembangunan

Oleh: Hendri Saparini & Binny Buchori

Kinerja ekonomi Indonesia selama 50 tahun terakhir ini semakin tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Padahal, negara-negara tetangga memulai pembangunan ekonomi mereka pada waktu yang hampir bersamaan dengan Indonesia.

Selain ketinggalan dari segi pendapatan per kapita, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling timpang, stok utang paling besar, dan memiliki landasan struktural dan industri yang sangat rapuh. Padahal, negara-negara seperti Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, China, dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar seperti negeri ini.

Penyebab utama ketertinggalan ekonomi Indonesia adalah strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia hasil rancangan Mafia Bekeley yang selalu menempatkan negeri ini sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Mafia Berkeley selama ini hanya menjadi saluran strategi dari kebijakan yang dirumuskan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan USAID.

Mafia ini juga sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memantau agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan dalam 'Washington Consensus.'

Memihak asing

Sekilas program Washington Consensus memang sangat wajar dan netral. Namun, di balik program tersebut tersembunyi kepentingan Negara Adikuasa yang ternyata mengabaikan kepentingan nasional, yaitu:

Pertama, kebijakan anggaran ketat. Selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, program ini sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Penghapusan subsidi untuk rakyat bahkan seringkali dipaksakan hanya agar tersedia anggaran untuk membayar utang.

Kedua, liberalisasi keuangan. Selain bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi dan transaksi global keuangan, liberalisasi keuangan pada dasarnya dimaksudkan juga untuk menjamin agar modal dan dividen dapat keluar dari negara berkembang setiap saat.

Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan. Program ini sebenarnya hanya bertujuan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa mereka ke negara berkembang, bukan untuk mendorong ekonomi negara berkembang.

Hal ini terbukti dari negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan bagi sektor industri dan pertanian mereka antara lain melalui kuota, export restraint, subsidi, dan hambatan nontarif.

Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara. Tujuan utama program ini adalah agar peranan negara dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin.

Karena itu, dalam praktiknya penjualan aset-aset negara dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued), sehingga program ini sering identik dengan rampokisasi (piratization), seperti yang diungkapkan oleh Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard University.

Alasan meningkatkan efisiensi dengan menerapkan mekanisme pasar hanya merupakan kampanye untuk menutupi upaya asing guna menguasai sumber-sumber ekonomi negara berkembang.

Dengan berbagai program yang lebih memihak kepada kepentingan asing seperti diuraikan di atas, tidak heran jika Mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia, walaupun didukung oleh rezim otoriter selama 32 tahun. Strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia bukan merupakan turunan dari visi kepentingan nasional, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi.

Langkah yang diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seperti menghapus ketergantungan terhadap IMF dan membubarkan Consultative Group for Indonesia (CGI), seharusnya merupakan langkah strategis dan menjadi awal peningkatan kemandirian ekonomi bangsa, terutama dalam perumusan strategi dan kebijakan ekonomi nasional.

Saling memuji

Namun, akhir-akhir ini ada upaya memunculkan kembali glorifikasi Orde Baru dengan cara saling memuji dan mendukung antara Mafia Berkeley, Bank Dunia, dan IMF atas berbagai kebijakan yang telah dilakukan selama puluhan tahun ini.

Padahal, fakta menunjukkan berbagai kebijakan itu telah menciptakan distribusi pendapatan yang sangat timpang, stok utang dalam dan luar negeri yang besar, landasan struktural dan industri yang sangat rapuh, dan menciptakan pemiskinan struktural di Indonesia.

Namun, sejumlah anggota dan murid Mafia Berkeley bahkan hingga kini terus berupaya agar pemerintah tetap mempertahankan kebijakan prokreditor dalam bentuk lain.

Karena itu, Tim Indonesia Bangkit mendesak Presiden Yudhoyono-Wapres Jusuf Kalla untuk tidak kembali membiarkan anggota dan murid-murid Mafia Berkeley merancang strategi pembangunan ekonomi Indonesia.

Kini, saat yang tepat bagi Presiden Yudhoyono-Wapres Kalla untuk segera mengakhiri seluruh kebijakan ekonomi Mafia Berkeley yang mengacu pada Washington Consensus, karena terbukti lebih memihak kepada kepentingan kreditor ketimbang kepentingan nasional.

 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia