Dalam sebuah talk show radio pada akhir pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu mempermasalahkan program 100 hari pemerintah.
Tidak perlu resah bila belum banyak kebijakan konkret yang dapat menyelesaikan masalah karena periode 100 hari adalah periode untuk meletakkan fondasi, sehingga masuk akal bila belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Benarkah demikian? Atau sekadar respons atas antusiasme masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono? Kritik atau evaluasi yang dilakukan masyarakat sebenarnya hanya respons atas janji program 100 hari yang disampaikan Presiden SBY pada pekan ini. Sebelum era pemerintahan SBY, masyarakat Indonesia tidak mengenal program 100 hari.
Memang telah banyak negara yang mempraktikkan program ini seperti misalnya di Amerika Serikat. Program 100 hari dinilai penting karena dapat menjadi faktor positif bagi pemerintah baru dalam meningkatkan kepercayaan publik.
Namun, bila program 100 hari tidak direncanakan dengan matang, tidak memiliki program an-dalan yang dapat meyakinkan publik atas kemampuan pemerintahan baru, maka justru akan menjadi bumerang yang akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi pemerintah. Dengan memublikasikan program 100 hari artinya pemerintahan SBY-Boediono mempersilakan masyarakat untuk menilai dan mengkritisi kinerjanya.
Bila merujuk pada program 100 hari yang dilakukan di berbagai negara maju, program 100 hari bukan sekadar untuk menancapkan fondasi.
Ada dua hal penting dalam program 100 hari. Pertama, program 100 hari harus memberikan landasan strategis bagi kebijakan pemerintah. Juga memberikan sinyal bagi masyarakat dan para pelaku usaha terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintah ke depan.
Kedua, program 100 hari juga merupakan berbagai terobosan kebijakan untuk menyelesaikan berbagai masalah jangka pendek.
Kemampuan pemerintah dalam memberikan landasan kebijakan dan solusi atas berbagai masalah inilah yang akan meningkatkan keyakinan publik atas kompetensi dan keberpihakan kebijakan dalam pemerintahan selama 5 tahun ke depan.
Fondasi yang lemah
Marilah kita mencoba mengevaluasi benarkah klaim Menkominfo bahwa program 100 hari KIB II di bidang ekonomi adalah program dan kebijakan yang akan menjadi pondasi bagi strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi 5 tahun yang akan datang. Program 100 hari akan menjadi fondasi dan memberi signal arah kebijakan selanjutnya bila disusun berdasarkan strategi jangka menengahnya.
Ternyata, hingga 20 Januari 2010, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 baru selesai disusun. Padahal program 100 hari telah disampaikan kepada publik pada Oktober 2009.
Artinya, bisa jadi ada benang merah RPJM 2010-2014 dan program 100 hari, tetapi bisa juga tidak memiliki keterkaitan yang jelas karena program 100 hari disusun sebelum kerangka kebijakan ekonomi jangka menengah ada. Faktanya, kajian Econit menunjukkan bahwa program 100 hari pemerintah SBY, paling banyak merupa respons administrasi dan birokrasi. Bahkan beberapa merupakan kegiatan rutin kementerian yang di-up load menjadi program 100 hari.
Pemerintah memang dapat berargumentasi bahwa program 100 hari KIB II telah memiliki referensi karena disusun pasca National Summit. Namun, dalam pertemuan nasional itu pemerintah belum memiliki kerangka kebijakan dan program jangka menengah. Dapat diprediksi pertemuan nasional itu adalah arena menampung keluh kesah dan mengumpulkan masalah dan bukan penyusunan program prioritas jangka pendek dan menengah.
Kalaupun ditetapkan program prioritas, dikhawatirkan hanya sekadar mengadopsi usulan dari pemangku kepentingan yang memiliki posisi tawar. Sebagai contoh, masyarakat mengeluhkan perkembangan ritel modern asing yang mengancam pedagang mikro dan kecil, sehingga perlu perubahan perundang-undang.
Namun, karena pemerintah hanya menjiplak usulan asosiasi pengusaha yang didalamnya memiliki kepentingan terhadap bisnis ritel asing, pemerintah tidak mengagendakan koreksi terhadap aturan perundangan. Sangat berbahaya bila kecenderungan ini terjadi di berbagai sektor, karena lahirnya kebijakan pemerintah tidak memiliki keberpihakan yang jelas.
Terobosan yang terbatas
Saat ini salah satu masalah serius yang menjadi momok masyarakat adalah ancaman dampak negatif dari perdagangan bebas Asean dengan China.
Untuk meresponsnya, semestinya banyak program terobosan yang dapat dilakukan oleh pemerintah SBY-Boediono. Sayangnya, dalam program 100 hari, pemerintahan tidak memiliki langkah penyelamatan yang jelas.
Menteri Perdagangan bahkan setengah hati dalam mengupayakan tuntutan para pengusaha untuk melakukan penundaan. Padahal ketidaksiapan industri sebagian besar diakibatkan oleh langkah Menteri Perdagangan yang terlalu agresif melakukan liberalisasi tanpa strategi dan kebijakan mitigasi untuk menguatkan daya saing industri nasional.
Selain mengupayakan negosiasi ulang, pemerintah semestinya juga dapat menangkal banjir produk China dengan mengubah kebijakan moneter. Sulitnya produk dari luar menembus pasar China antara lain karena didukung kebijakan nilai tukar dan bunga bank murah. Pemerintah SBY-Boediono seharusnya dapat melakukan terobosan kebijakan yang sama.
Untuk menghindari percepatan deindustrialisasi industri nasional, pemerintah seharusnya juga dapat menciptakan pasar bagi produk dalam negeri. Namun, dalam program 100 hari, Menteri Keuangan tidak memiliki terobosan untuk memanfaatkan anggaran belanja modal dan barang agar memprioritaskan produk-produk nasional. Padahal berbagai strategi preferential treatment seperti ini banyak dilakukan.
Kelemahan program 100 hari pemerintah, ternyata tidak hanya ketidakjelasan kebijakan fondasi tetapi juga minimnya kebijakan konkret yang dapat meyakinkan masyarakat atas kompetensi dan keberpihakan pemerintahan dalam mengelola kebijakan ekonomi.
Nasihat Cary Covington, profesor politik dari Universitas Iowa, terhadap program 100 hari Obama menarik untuk dievaluasi. Menurut Cary Covington, yang terpenting bagi Obama adalah melakukan apa yang telah dilakukan Roosevelt dalam program 100 harinya yakni fokus pada upaya menumbuhkan keyakinan dan semangat masyarakat.
Bila program 100 hari pada intinya bertujuan menumbuhkan keyakinan masyarakat bahwa pemerintahan SBY-Boediono akan dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan dapat membawa kebijakan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan nasional, rasanya kita harus berkesimpulan bahwa program 100 hari SBY-Boediono telah gagal.