RUDI HARTONO*)
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 25 Agustus 2009, saya mengikuti aksi massa Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, bertepatan dengan momen pelantikan anggota DPRD periode 2009-2014. Sebagian besar orang yang mengikuti aksi ini, merupakan kelompok social yang terus terpinggirkan dari kebijakan pembangunan.
Saya mengetahui, bahwa aksi serupa juga berlangsung di kota-kota lainnya, dengan tekanan suara dan aspirasi yang hampir serupa. Meskipun tidak mendapat respon yang layak dari para anggota DPRD baru ini, tapi sebuah penilaian umum sedang mengambil bentuknya sendiri; krisis legitimasi.
Parlemen Kotapraja Kolonial
Sistim keterwakilan, yang menyerupai fungsi DPRD sekarang ini, sebetulnya sudah eksis semenjak pemerintahan kolonial. pada tahun 1916, parlemen negeri Belanda menyetujui pembentukan Volksraad atau dewan rakyat. Dewan ini bukan saja berfungsi memberi kelembagaan kepada penduduk Belanda di Hindia untuk terlibat dalam pemerintahan, tapi juga untuk memimpin atau mengarahkan pemimpin politik hindia-belanda ke jalur yang evolusioner atau parlementer.
Pada awalnya, lembaga ini bertugas sebagai badan penasihat tanpa kekuasaan legislative, interpelasi, maupun penyelidikan parlementer. Anggotanya 38 orang, setengahnya di pilih oleh dewan kotapraja dan karasidenan, dan setengahnya diangkat oleg gubernur jenderal. Dalam komposisinya, anggota volksraad dari bumiputera hanya dibatasi 15 orang, dimana 10 orang dipilih dan 5 orang sisanya diangkat gubernur jenderal.
Di tingkat kotapraja, atau karasidenan, terdapat dewan kotapraja. Pada akhir 1930, terdapat 32 dewan kotapraja (sebagian besar di jawa) dan 76 dewan kabupaten. Dalam setiap pemilihan kotapraja, partisipasi rakyat sengaja diperkecil, sementara partisipasi orang-orang Belanda dan eropah diperbesar. Di dua kotapraja terbesar penduduknya ketika itu, Batavia dan Surabaya, jumlah gabungan pemilih pada tahun 1938 hanya mencapai 16.000 untuk orang eropah, 8000 untuk orang Indonesia, dan 3000 untuk orang orang cina, arab, dsb.
Sebagai konsekuensi dari hal diatas, peran politik yang dimainkan oleh Volksraad dan dewan kotapraja sangat konservatif. Beberapa kalangan pergerakan yang mencoba ambil bagian, terutama Budi Oetomo (BO), Central Serikat Islam (CSI), dan Insulinde, tidak dapat mengambil peran maksimum, sehingga sering menjadi bahan olok-olokan kalangan pergerakan yang lebih radikal.
Tidak mengherankan, pada tahun 1930-an sejumlah organisasi, partai, dan tokoh pergerakan politik yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), menuntut kepada pemerintah kolonial untuk Indonesia berparlemen.
Dinamika DPRD
Pada masa pemerintahan Bung Karno, dimana berlaku sistim politik parlementer, kehidupan politik di tingkat lokal juga cukup riuh. Disamping itu, pemberlakukan UU No 1/1957 berhasil mengakhiri independensi dan kekuasaan raja-raja lokal, sehingga semakin memperbesar peranan partai politik dan pemerintah pusat. Seperti diketahui, kekuasaan lokal pada saat itu sangat besar, terutama karena penetrasi sisa-sisa kolonial yang hendak memecah belah Indonesia.
Pada masa itu, karena begitu kuatnya peran partai politik, maka pembentukan kekuasaan di daerah pun berdasarkan pertarungan partai politik. Dalam beberapa kasus, beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan dukungan menjadi pemerintah kabupaten/kota.
Pada masa orde baru, seiring dengan surutnya peran partai politik, proses politik demokratis di DPRD juga menghilang. Pada masa itu, pemberangusan kehidupan politik berlanjut dengan pengkerdilan dan penghilangan fungsi dan wewenang DPRD. Sebagai misal, rekruitmen anggota DPRD ditentukan oleh eksekutif, persoalan keuangan DPRD juga diatur eksekutif, dan tata tertib mereka benar-benar memasung fungsi dan hak DPRD.
Akibatnya, DPRD di masa orde baru lebih mirip dengan parlemen boneka jaman kolonial. Mereka sama sekali tidak memiliki ruang untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya, bahkan tersubordinasi di bawah kekuasan eksekutif. Situasi ini diperburuk dengan kemunculan partai penguasa ketika itu, Golkar, yang menjadi kekuatan menentukan di seluruh lini kehidupan politik.
Setelah memasuki reformasi, dimana tidak semua tiang-tiang penyusung kediktatoran orde baru dihancurkan, DPRD menjadi salah satu lembaga yang diberi cap “status quo”. Pada masa itu, selain tuntutan demokrasi yang berkembang sangat luas, terdapat pula sebuah tuntutan kesejahteraan dari rakyat banyak. namun, alih-alih DPRD berhasil menangkap tuntutan ini, mereka justru mewarisi tradisi lama politik orde baru.
Kegagalan DPRD
Di setiap pergantian kekuasaan, dari pemilu ke pemilu, rakyat senantiasa menggantungkan harapan besar kepada para politisi dan pemangku kekuasaan, agar nasib dan kesejahteraan mereka juga masuk agenda para pemangku kekuasaan itu.
Akan tetapi, berkali-kali pemilu datang menyapa, dan rakyat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara, ternyata perubahan yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Malah sebaliknya, mereka yang dipilih untuk mewakilkan suara para pemilih, justru terlibat dalam kejahatan politik memalukan, diantaranya korupsi, skandal seks, konspirasi jahat, dan berbagai kejahatan lainnya.
Semenjak reformasi hingga tahun 2006, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa lebih dari 1000 anggota DPRD seluruh Indonesia yang terlibat kasus korupsi, dengan perincian 700 anggota DPRD kabupaten/kota dan 300 anggota DPRD provinsi. Selain itu, dari berbagai kasus korupsi yang berlangsung di berbagai wilayah Indonesia, ternyata proporsi terbesarnya diduduki oleh lembaga DPRD. Tidak mengherankan, Indonesia Corruption Wacth (ICW) menobatkan lembaga ini sebagai lembaga terkorup.
Pada tahun 2004, misalnya, Kejaksaan negeri Kendari pernah melancarkan operasi penangkapan massal terhadap 25 anggota DPRD kota kendar, karena diduga terlibat kasus korupsi senilai Rp1,9 miliar. Kasus serupa juga terjadi di DPRD kota padang, sumatera barat, dimana 45 orang anggotanya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi APBD. Kejadian seperti ini marak di berbagai daerah, hanya saja proses pengungkapannya yang belum maksimal.
Lebih ironis lagi, dalam pelantikan anggota DPRD periode 2009-2014 ini, sejumlah nama yang tersandung kasus korupsi, tetap juga dilantik. Di kabupaten Situbondo, misalnya, seorang terdakwa kasus korupsi, yang proses hukumnya masih berjalan di persidangan, tetap dilantik sebagai anggota DPRD.
Hal itu tentu melukai demokrasi dan rasa keadilan rakyat. mereka yang telah mencuri uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri, masih diberi kesempatan untuk memangku kekuasaannya.
Disamping persoalan korupsi, anggota DPRD juga dituding tidak punya agenda kerakyatan, dan kurang responsif dengan tuntutan dan aspirasi rakyat. sebaliknya, DPRD begitu getol dalam menggoalkan sejumlah kebijakan yang merugikan masyarakat.
Perda harus ditempatkan dalam politik kekuasaan, dimana ada begitu banyak sektor dan kelompok yang berkepentingan terhadap produk politik ini. Seharusnya, DPRD sebagai lembaga representasi rakyat, menjadi ujung tombak untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam negosiasi pembuatan perda ini. Namun, seperti diketahui secara umum, DPRD bukan berdiri di atas kepentingan rakyat, mereka justru menjual perda ini untuk kepentingan pengusaha atau segelintir orang. Maka tidak mengherankan, ada begitu banyak perda sampah, yaitu perda yang merugikan rakyat banyak, diproduksi oleh lembaga DPRD.
Di Sulawesi Utara, umpamanya, ada enam perda sampah yang akhirnya dicabut oleh depdagri karena dianggap sangat merugikan masyarakat. Di DKI Jakarta, berbagai sektor rakyat miskin menyerbu kantor DPRD untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap Perda Ketertiban Umum.
Dalam politik anggaran, DPRD juga belum menempatkan kesejahteraan sebagai porsi utama dari alokasi anggaran. Pada prakteknya, anggaran APBD lebih banyak dipergunakan untuk pos-pos anggaran yang tidak perlu, terutama untuk membiayai anggota DPRD dan Pemda, sementara proporsi anggaran yang bersentuhan dengan rakyat sangat kecil.
Di DKI Jakarta, misalnya, anggaran untuk pakaian dewan pada Sekretariat DPRD DKI Jakarta nilai seluruhnya mencapai Rp1,6 miliar yang terdiri atas pakaian adat daerah, PDH, PSH dan PSL, padahal ini hanya urusan tetek benget.
Tantangan Besar
DPRD periode 2009-2014 berhadapan dengan begitu banyak persoalan, dari persoalan sederhana hingga persoalan yang begitu rumit. Secara sederhana, ada beberapa tantangan besar yang sementara menghadang anggota DPRD baru ini:
Kesimpulan ini bukan hanya terlihat dengan angka golput yang terus meningkat, tapi semakin menipisnya basis konstituen yang memilih kandidat karena mendukung program dan komitmen politiknya. Sekarang ini, jika anda memiliki akses yang besar terhadap sumber-sumber ekonomi, berarti satu kaki anda sudah menempel di kekuasaan.
Dalam sebuah survey, yang dilakukan sebuah serikat buruh, tingkat kepercayaan buruh terhadap lembaga DPR sangat rendah. Menurut survey ini, ada sekitar 67,% buruh di Indonesia—berdasarkan metode pengambilan sample—yang menganggap DPR dan sejenisnya tidak berpihak kepada kepentingan kaum buruh.
Akhirnya, dari kesimpulan diatas, muncul banyak anjuran agar DPRD segera melakukan banting setir, dan membuat tradisi berpolitik yang baru. Dalam kepentingan ini, beberapa kelompok masyarakat mencoba mengajak wakil rakyat ini untuk membangun konsensus bersama, dalam bentuk kontrak politik. di luar itu, ada usulan agar DPR mulai merubah tradisi berpolitiknya secara perlahan, misalnya, dengan: mulai melaporkan kinerjanya secara reguler kepada konstituen, memberikan hak recall kepada rakyat, melibatkan rakyat dalam penyusunan anggaran, dan sebagainya.
Parlemen alternatif
Berhadapan dengan tantangan besar ini, DPR hanya punya dua pilihan; lanjutkan atau banting setir. Jika memilih yang pertama, maka DPR hanya akan memperparah krisis legitimasi. Kita mengetahui, demokrasi jenis apapun membutuhkan legitimasi sebagai jalan menciptakan konsensus dengan massa luas, supaya administrasi mereka bisa berjalan efektif. Makanya, jika krisis legitimasi semakin akut, maka lembaga perwakilan ini hanya akan menggali liang kuburnya sendiri.
Sementara itu, jika memilih pilihan kedua, maka muncul pertanyaan: sanggupkah DPRD sekarang ini mentransformasikan diri sebagai lembaga yang merespon tuntutan rakyat. Rasanya, itupun sangat sulit dilakukan. Dengan bercermin kepada sistim demokrasi dan politik sekarang ini, DPRD sangat sulit untuk melakukan itu.
Untuk alasan diatas, maka kita hanya berhadapan dengan satu pilihan; membangun model keterwakilan alternatif. Model baru ini tidak bersandar kepada kepentingan elit atau segelintir orang. Dimana keputusan yang diambil bersifat top-down (dari atas ke bawah), dan dimana seluruh inisiatif adalah milik para pejabat negara, elit politik, dan pengusaha.
Tepatnya, model baru ini bersandarkan kepada partisipasi rakyat dari bawah, demokratis, dan berdasarkan kerjasama dan solidaritas. Pada model baru ini, pelaku dari perubahan itu bukan lagi disandarkan kepada individu atau segelintir orang, tetapi diserahkan kepada massa.
Dalam banyak istilah, model baru ini sering diberi label demokrasi partisipatoris, demokrasi kerakyatan, ataupun demokrasi sosialisme. Proses penciptaaannya dengan membangkitkan partisipasi rakyat secara keseluruhan, melalui dewan-dewan, majelis-majelis, dan penunjukan langsung.
Dalam aksi yang digelar Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) yang lalu, ada sebuah keinginan kuat untuk memunculkan bukan hanya bentuk tandingan, tapi sebuah alternatif baru terhadap kegagalan DPRD itu. Massa itu yang mengikuti aksi itu sebagian besar sudah berpengalaman sebagai organiser di komunitasnya, memahami bahwa perbaikan itu hanya datang dari kerja keras perjuangan.
Dengan begitu, perjuangan kita sekarang adalah bagaimana menjadikan itu menjadi kenyataan. ***
*) Penulis adalah Peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), redaksi media alternative, Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 25 Agustus 2009, saya mengikuti aksi massa Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, bertepatan dengan momen pelantikan anggota DPRD periode 2009-2014. Sebagian besar orang yang mengikuti aksi ini, merupakan kelompok social yang terus terpinggirkan dari kebijakan pembangunan.
Saya mengetahui, bahwa aksi serupa juga berlangsung di kota-kota lainnya, dengan tekanan suara dan aspirasi yang hampir serupa. Meskipun tidak mendapat respon yang layak dari para anggota DPRD baru ini, tapi sebuah penilaian umum sedang mengambil bentuknya sendiri; krisis legitimasi.
Parlemen Kotapraja Kolonial
Sistim keterwakilan, yang menyerupai fungsi DPRD sekarang ini, sebetulnya sudah eksis semenjak pemerintahan kolonial. pada tahun 1916, parlemen negeri Belanda menyetujui pembentukan Volksraad atau dewan rakyat. Dewan ini bukan saja berfungsi memberi kelembagaan kepada penduduk Belanda di Hindia untuk terlibat dalam pemerintahan, tapi juga untuk memimpin atau mengarahkan pemimpin politik hindia-belanda ke jalur yang evolusioner atau parlementer.
Pada awalnya, lembaga ini bertugas sebagai badan penasihat tanpa kekuasaan legislative, interpelasi, maupun penyelidikan parlementer. Anggotanya 38 orang, setengahnya di pilih oleh dewan kotapraja dan karasidenan, dan setengahnya diangkat oleg gubernur jenderal. Dalam komposisinya, anggota volksraad dari bumiputera hanya dibatasi 15 orang, dimana 10 orang dipilih dan 5 orang sisanya diangkat gubernur jenderal.
Di tingkat kotapraja, atau karasidenan, terdapat dewan kotapraja. Pada akhir 1930, terdapat 32 dewan kotapraja (sebagian besar di jawa) dan 76 dewan kabupaten. Dalam setiap pemilihan kotapraja, partisipasi rakyat sengaja diperkecil, sementara partisipasi orang-orang Belanda dan eropah diperbesar. Di dua kotapraja terbesar penduduknya ketika itu, Batavia dan Surabaya, jumlah gabungan pemilih pada tahun 1938 hanya mencapai 16.000 untuk orang eropah, 8000 untuk orang Indonesia, dan 3000 untuk orang orang cina, arab, dsb.
Sebagai konsekuensi dari hal diatas, peran politik yang dimainkan oleh Volksraad dan dewan kotapraja sangat konservatif. Beberapa kalangan pergerakan yang mencoba ambil bagian, terutama Budi Oetomo (BO), Central Serikat Islam (CSI), dan Insulinde, tidak dapat mengambil peran maksimum, sehingga sering menjadi bahan olok-olokan kalangan pergerakan yang lebih radikal.
Tidak mengherankan, pada tahun 1930-an sejumlah organisasi, partai, dan tokoh pergerakan politik yang tergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI), menuntut kepada pemerintah kolonial untuk Indonesia berparlemen.
Dinamika DPRD
Pada masa pemerintahan Bung Karno, dimana berlaku sistim politik parlementer, kehidupan politik di tingkat lokal juga cukup riuh. Disamping itu, pemberlakukan UU No 1/1957 berhasil mengakhiri independensi dan kekuasaan raja-raja lokal, sehingga semakin memperbesar peranan partai politik dan pemerintah pusat. Seperti diketahui, kekuasaan lokal pada saat itu sangat besar, terutama karena penetrasi sisa-sisa kolonial yang hendak memecah belah Indonesia.
Pada masa itu, karena begitu kuatnya peran partai politik, maka pembentukan kekuasaan di daerah pun berdasarkan pertarungan partai politik. Dalam beberapa kasus, beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan dukungan menjadi pemerintah kabupaten/kota.
Pada masa orde baru, seiring dengan surutnya peran partai politik, proses politik demokratis di DPRD juga menghilang. Pada masa itu, pemberangusan kehidupan politik berlanjut dengan pengkerdilan dan penghilangan fungsi dan wewenang DPRD. Sebagai misal, rekruitmen anggota DPRD ditentukan oleh eksekutif, persoalan keuangan DPRD juga diatur eksekutif, dan tata tertib mereka benar-benar memasung fungsi dan hak DPRD.
Akibatnya, DPRD di masa orde baru lebih mirip dengan parlemen boneka jaman kolonial. Mereka sama sekali tidak memiliki ruang untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya, bahkan tersubordinasi di bawah kekuasan eksekutif. Situasi ini diperburuk dengan kemunculan partai penguasa ketika itu, Golkar, yang menjadi kekuatan menentukan di seluruh lini kehidupan politik.
Setelah memasuki reformasi, dimana tidak semua tiang-tiang penyusung kediktatoran orde baru dihancurkan, DPRD menjadi salah satu lembaga yang diberi cap “status quo”. Pada masa itu, selain tuntutan demokrasi yang berkembang sangat luas, terdapat pula sebuah tuntutan kesejahteraan dari rakyat banyak. namun, alih-alih DPRD berhasil menangkap tuntutan ini, mereka justru mewarisi tradisi lama politik orde baru.
Kegagalan DPRD
Di setiap pergantian kekuasaan, dari pemilu ke pemilu, rakyat senantiasa menggantungkan harapan besar kepada para politisi dan pemangku kekuasaan, agar nasib dan kesejahteraan mereka juga masuk agenda para pemangku kekuasaan itu.
Akan tetapi, berkali-kali pemilu datang menyapa, dan rakyat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara, ternyata perubahan yang diharapkan tidak juga kunjung datang. Malah sebaliknya, mereka yang dipilih untuk mewakilkan suara para pemilih, justru terlibat dalam kejahatan politik memalukan, diantaranya korupsi, skandal seks, konspirasi jahat, dan berbagai kejahatan lainnya.
Semenjak reformasi hingga tahun 2006, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa lebih dari 1000 anggota DPRD seluruh Indonesia yang terlibat kasus korupsi, dengan perincian 700 anggota DPRD kabupaten/kota dan 300 anggota DPRD provinsi. Selain itu, dari berbagai kasus korupsi yang berlangsung di berbagai wilayah Indonesia, ternyata proporsi terbesarnya diduduki oleh lembaga DPRD. Tidak mengherankan, Indonesia Corruption Wacth (ICW) menobatkan lembaga ini sebagai lembaga terkorup.
Pada tahun 2004, misalnya, Kejaksaan negeri Kendari pernah melancarkan operasi penangkapan massal terhadap 25 anggota DPRD kota kendar, karena diduga terlibat kasus korupsi senilai Rp1,9 miliar. Kasus serupa juga terjadi di DPRD kota padang, sumatera barat, dimana 45 orang anggotanya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi APBD. Kejadian seperti ini marak di berbagai daerah, hanya saja proses pengungkapannya yang belum maksimal.
Lebih ironis lagi, dalam pelantikan anggota DPRD periode 2009-2014 ini, sejumlah nama yang tersandung kasus korupsi, tetap juga dilantik. Di kabupaten Situbondo, misalnya, seorang terdakwa kasus korupsi, yang proses hukumnya masih berjalan di persidangan, tetap dilantik sebagai anggota DPRD.
Hal itu tentu melukai demokrasi dan rasa keadilan rakyat. mereka yang telah mencuri uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri, masih diberi kesempatan untuk memangku kekuasaannya.
Disamping persoalan korupsi, anggota DPRD juga dituding tidak punya agenda kerakyatan, dan kurang responsif dengan tuntutan dan aspirasi rakyat. sebaliknya, DPRD begitu getol dalam menggoalkan sejumlah kebijakan yang merugikan masyarakat.
Perda harus ditempatkan dalam politik kekuasaan, dimana ada begitu banyak sektor dan kelompok yang berkepentingan terhadap produk politik ini. Seharusnya, DPRD sebagai lembaga representasi rakyat, menjadi ujung tombak untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dalam negosiasi pembuatan perda ini. Namun, seperti diketahui secara umum, DPRD bukan berdiri di atas kepentingan rakyat, mereka justru menjual perda ini untuk kepentingan pengusaha atau segelintir orang. Maka tidak mengherankan, ada begitu banyak perda sampah, yaitu perda yang merugikan rakyat banyak, diproduksi oleh lembaga DPRD.
Di Sulawesi Utara, umpamanya, ada enam perda sampah yang akhirnya dicabut oleh depdagri karena dianggap sangat merugikan masyarakat. Di DKI Jakarta, berbagai sektor rakyat miskin menyerbu kantor DPRD untuk menyampaikan penolakan mereka terhadap Perda Ketertiban Umum.
Dalam politik anggaran, DPRD juga belum menempatkan kesejahteraan sebagai porsi utama dari alokasi anggaran. Pada prakteknya, anggaran APBD lebih banyak dipergunakan untuk pos-pos anggaran yang tidak perlu, terutama untuk membiayai anggota DPRD dan Pemda, sementara proporsi anggaran yang bersentuhan dengan rakyat sangat kecil.
Di DKI Jakarta, misalnya, anggaran untuk pakaian dewan pada Sekretariat DPRD DKI Jakarta nilai seluruhnya mencapai Rp1,6 miliar yang terdiri atas pakaian adat daerah, PDH, PSH dan PSL, padahal ini hanya urusan tetek benget.
Tantangan Besar
DPRD periode 2009-2014 berhadapan dengan begitu banyak persoalan, dari persoalan sederhana hingga persoalan yang begitu rumit. Secara sederhana, ada beberapa tantangan besar yang sementara menghadang anggota DPRD baru ini:
- Kemunduran dan kemerosotan tingkat kesejahteraan rakyat, terutama kalangan menengah dan bawah. Kelompok ini, yang merupakan mayoritas dari total penduduk, sementara ini memendang skeptisisme terhadap perbaikan kehidupan ekonomi di masa depan, apalagi dengan kepemimpinan nasional yang tak bisa diharapkan. DPR, tentunya, punya tanggung jawab politik dan moril yang sangat besar untuk mengatasi persoalan ini, dan menjadikan ini sebagai agenda politik utama. Jika tetap gagal, sebuah krisis politik akan menyapu seluruh institusi politik semacam ini.
- Secara politik, DPRD sekarang ini berhadapan dengan krisis legitimasi. Apa yang dimaksud dengan krisis legitimasi adalah hilangnya kepercayaan dan ekspektasi rakyat terhadap lembaga ini, terutama dalam menyuarakan kepentingannya.
Kesimpulan ini bukan hanya terlihat dengan angka golput yang terus meningkat, tapi semakin menipisnya basis konstituen yang memilih kandidat karena mendukung program dan komitmen politiknya. Sekarang ini, jika anda memiliki akses yang besar terhadap sumber-sumber ekonomi, berarti satu kaki anda sudah menempel di kekuasaan.
Dalam sebuah survey, yang dilakukan sebuah serikat buruh, tingkat kepercayaan buruh terhadap lembaga DPR sangat rendah. Menurut survey ini, ada sekitar 67,% buruh di Indonesia—berdasarkan metode pengambilan sample—yang menganggap DPR dan sejenisnya tidak berpihak kepada kepentingan kaum buruh.
Akhirnya, dari kesimpulan diatas, muncul banyak anjuran agar DPRD segera melakukan banting setir, dan membuat tradisi berpolitik yang baru. Dalam kepentingan ini, beberapa kelompok masyarakat mencoba mengajak wakil rakyat ini untuk membangun konsensus bersama, dalam bentuk kontrak politik. di luar itu, ada usulan agar DPR mulai merubah tradisi berpolitiknya secara perlahan, misalnya, dengan: mulai melaporkan kinerjanya secara reguler kepada konstituen, memberikan hak recall kepada rakyat, melibatkan rakyat dalam penyusunan anggaran, dan sebagainya.
Parlemen alternatif
Berhadapan dengan tantangan besar ini, DPR hanya punya dua pilihan; lanjutkan atau banting setir. Jika memilih yang pertama, maka DPR hanya akan memperparah krisis legitimasi. Kita mengetahui, demokrasi jenis apapun membutuhkan legitimasi sebagai jalan menciptakan konsensus dengan massa luas, supaya administrasi mereka bisa berjalan efektif. Makanya, jika krisis legitimasi semakin akut, maka lembaga perwakilan ini hanya akan menggali liang kuburnya sendiri.
Sementara itu, jika memilih pilihan kedua, maka muncul pertanyaan: sanggupkah DPRD sekarang ini mentransformasikan diri sebagai lembaga yang merespon tuntutan rakyat. Rasanya, itupun sangat sulit dilakukan. Dengan bercermin kepada sistim demokrasi dan politik sekarang ini, DPRD sangat sulit untuk melakukan itu.
Untuk alasan diatas, maka kita hanya berhadapan dengan satu pilihan; membangun model keterwakilan alternatif. Model baru ini tidak bersandar kepada kepentingan elit atau segelintir orang. Dimana keputusan yang diambil bersifat top-down (dari atas ke bawah), dan dimana seluruh inisiatif adalah milik para pejabat negara, elit politik, dan pengusaha.
Tepatnya, model baru ini bersandarkan kepada partisipasi rakyat dari bawah, demokratis, dan berdasarkan kerjasama dan solidaritas. Pada model baru ini, pelaku dari perubahan itu bukan lagi disandarkan kepada individu atau segelintir orang, tetapi diserahkan kepada massa.
Dalam banyak istilah, model baru ini sering diberi label demokrasi partisipatoris, demokrasi kerakyatan, ataupun demokrasi sosialisme. Proses penciptaaannya dengan membangkitkan partisipasi rakyat secara keseluruhan, melalui dewan-dewan, majelis-majelis, dan penunjukan langsung.
Dalam aksi yang digelar Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) yang lalu, ada sebuah keinginan kuat untuk memunculkan bukan hanya bentuk tandingan, tapi sebuah alternatif baru terhadap kegagalan DPRD itu. Massa itu yang mengikuti aksi itu sebagian besar sudah berpengalaman sebagai organiser di komunitasnya, memahami bahwa perbaikan itu hanya datang dari kerja keras perjuangan.
Dengan begitu, perjuangan kita sekarang adalah bagaimana menjadikan itu menjadi kenyataan. ***
*) Penulis adalah Peneliti Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), redaksi media alternative, Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri.