Pernyataan Sikap Aliansi Parlemen Jalanan 20 Oktober 2009
Pelantikan presiden dan wakil presiden RI hari ini, 20 oktober 2009, dilakukan di tengah mandeknya penyelesaian hukum kasus bank century. Dalam kasus itu, dimana negara dirugikan sebesar 6,7 triliun, sejumlah pejabat dalam pemerintahan SBY “diduga” terlibat, termasuk bapak wakil presiden, Budiono, yang dilantik hari ini.
Dalam kasus century, seperti yang berulangkali ditegaskan bapak Yusuf Kalla, adalah sebuah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri, dan sudah diketahui sejak lama oleh pihak pengawas perbankan, bank Indonesia (BI) yang dipimpin Budiono. Sehingga, siapapun yang merestui pemberian dana talangan kepada bank ini, sebetulnya sudah masuk dalam persekongkolan kriminal. Artinya, Budiono sebagai gubernur BI ketika itu, turut bertanggung jawab dalam persekongkolan kriminal ini.
Kejadian century hanya menggenapi kegagalan pemerintahan SBY sebelumnya, seperti; bidang ekonomi, sosial, keamanan, dan sebagainya. Karena menerapkan neoliberalisme, lima tahun pemerintahan SBY sebelumnya telah berhasil “menghantarkan” rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kehancuran: kemiskinan, pengangguran massal, perampokan sumber daya alam, utang luar negeri yang mencekik, dan pengrusakan lingkungan.
Dosa “neoliberal” SBY-Budiono jelas tidak terampuni. Selama lima tahun, SBY sibuk mencari pinjaman dari negeri-negeri penjajah, berupa utang luar negeri yang kini jumlahnya mencapai 160,64 miliar dollar AS hingga Agustus 2009.
Kebijakan ini bukan hanya membebani APBN, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk penerapan kebijakan neoliberal; privatisasi, liberalisasi perdagangan, deregulasi perbankan, dan sebagainya. Utang terus menerus digunakan untuk membayar hutang (to feed on itself), mirip dengan lingkaran setan gali lubang tutup lubang, utang digunakan untuk membayar bunga utang.
Sementara itu, industri nasional yang seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan dan memproduksi barang-barang kebutuhan rakyat, justru dibinasakan oleh modal asing.
SBY lebih memihak kepada modal dan perusahaan asing, sementara perusahaan nasional (BUMN dan swasta) dibiarkan rontok satu per satu (dibangkrutkan). Akibatnya, pertumbuhan industri dalam negeri melompat ke jurang, sehingga mengalami apa yang disebut “de-industrialisasi”.
Dalam beberapa tahun terakhir, neoliberalisme menghasilkan pengangguran dan pekerja informal, yang menurut organisasi pekerja seluruh Indonesia, sudah mencapai lebih dari 70% dari total rakyat Indonesia.
Tidak berhenti di situ; bangku sekolah dan pelayanan kesehatan pun kini harus dibayar dengan harga mahal. Akibatnya, semakin banyak pemuda dan kaum miskin yang tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Di berbagai wilayah Indonesia pun, proses pemadaman listrik secara bergiliran terus berulang, karena pembangkit listrik PLN kekurangan pasokan gas. Berbagai cadangan energi kita, seperti minyak, gas, dan batubara, dijual dengan harga sangat murah. Bahkan, sekitar 80-90% dari pengelolaan sumber energi dan sumber daya alam itu, berada di bawah bendera perusahaan dan maskapai asing.
Kita dijanjikan kesejahteraan dan pemerintahan bersih; tapi, hingga sekarang ini, sebagian besar rakyat kita hanya mendapatkan kemiskinan, ketidakdadilan, dan korupsi yang merajalela (BLBI dan kasus Century).
Bertepatan dengan pelantikan SBY-Budiono hari ini, yang merupakan periode kedua pemerintahan ultra-neoliberal ini, kita tidak mau sistim neoliberalisme melangkah lebih jauh lagi. Maka, seluruh rakyat Indonesia dan kaum oposisi harus menyatakan; HENTIKAN!
Berdasarkan kenyataan diatas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut;
- Usut tuntas skandal kasus bank century; periksa seluruh pejabat dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, diantara wapres Budiono, Menkeu Sri Mulyani, dan lain-lain.
- Hentikan seluruh proyek neoliberal di Indonesia; cabut seluruh perundang-undangan yang berbau neoliberal, diantaranya UU nomor 13/2003 tentang ketenagakerjaan, UU nomor 22/2001 tentang migas, UU nomor 25/2007 tentang penanaman modal, UU nomor 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan sebagainya.
- Nasionalisasi terhadap perusahaan pertambangan asing, atau minimal mendorong renegoisasi terhadap kontrak pertambangan yang melibatkan perusahaan asing;
- Memperjuangkan penghapusan utang luar negeri, atau minimal melakukan negosiasi untuk moratorium (penjadwalan ulang) kepada negara-negara donor.
- Mendorong pembangunan industri nasional, terutama untuk pembukaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan rakyat, melalui program penyaluran kredit oleh negara dan perbankan, dan merangsang permintaan dengan menghidupkan pasar dalam negeri.
Jakarta, 20 Oktober 2009