Rabu, 14 Oktober 2009

BLT dalam Pemerintahan SBY; Membedaki Kebijakan Neoliberal

Oleh : Marlo Sitompul
 
Mencuatnya tudingan neoliberalisme terhadap pasangan capres-cawapres SBY-Boediono membuat kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY menjadi sorotan, terutama kebijakan penanggulangan kemiskinannya seperti BLT, PNPM-Mandiri, BOS dsb. Hal ini antara lain disebabkan karena kebijakan-kebijakan tersebut, terutama BLT, dijadikan andalan para pendukung SBY-Budiono untuk menepis tuduhan bahwa pemerintahan SBY neoliberal. Pasalnya, bila logika neoliberal menuntut kehidupan perekonomian masyarakat diserahkan seluruhnya ke mekanisme pasar, atau dengan kata lain pihak swasta, maka pemberian bantuan tunai secara langsung oleh negara kepada keluarga miskin (BLT) benar-benar menyalahi logika tersebut.

Tulisan ini akan menunjukkan bahwa program penanggulangan kemiskinan SBY tidak bertujuan untuk sungguh-sungguh memberantas kemiskinan, melainkan sebagai pelengkap dari kebijakan neoliberalisme. Secara khusus yang akan diangkat adalah BLT karena ia termasuk program kompensasi yang terbesar (Rp 14,1 trilyun untuk kenaikan BBM 2008) dan terpopuler di mata rakyat.

Hal pertama yang perlu diingat adalah BLT, sebagaimana dijelaskan pula oleh pemerintah, merupakan kompensasi untuk kebijakan yang tidak disukai rakyat, yakni kenaikan harga BBM. Menaikkan harga BBM ini tak dapat dibantah lagi merupakan pelaksanaan neoliberalisme, yakni liberalisasi migas yang bertujuan menyerahkan penentuan harga BBM kepada mekanisme pasar. Menjadikan BLT untuk menyembunyikan kebijakan neoliberal ini hanyalah mengulang berbagai dalih (baca: kebohongan). Dan barangkali hampir semua rakyat Indonesia pernah mendengar penjelasan pemerintah bahwa kenaikan BBM dimaksudkan agar pemerintah tidak mensubsidi orang kaya, yang konon adalah yang paling banyak menikmati subsidi tersebut. Logika yang terbalik ini seakan menempatkan BLT sebagai inisiatif pemerintah dalam mengurangi kemiskinan, yang dapat menyulap kenaikan BBM agar menguntungkan rakyat.

Kesan inilah yang tercermin dalam presentasi Depkominfo pada tahun lalu. Kebijakan penyesuaian harga BBM yang termuat dalam APBN-P 2008 diperkirakan akan meringankan beban fiskal negara dan bahkan mampu mengurangi kemiskinan. Pemerintah memproyeksikan bahwa tanpa kenaikan harga BBM, angka kemiskinan pada tahun 2009 akan berkisar pada 19,5%; sedangkan dengan kenaikan harga BBM yang disertai BLT dan stabilisasi harga, angka tersebut hanya berada pada kisaran 12,5%. Perkiraan yang optimis ini belum terbukti oleh angka-angka statistik mengingat laporan angka kemiskinan BPS pada 2008 belum menyertakan periode paska kenaikan BBM. Namun bila kita mengacu pada kenaikan BBM tahun 2005, maka nyatalah bahwa optimisme pemerintah itu tidak berdasar.

Menurut laporan MDG 2007 untuk Indonesia, kenaikan harga BBM yang terjadi dua kali pada tahun 2005 dan rata-rata totalnya mencapai 150%, ditambah dengan kenaikan harga beras, menyebabkan kenaikan persentase penduduk miskin; yakni dari 15,97% (2005) menjadi 17,75% (2006). Padahal selama periode 2000-2005 angka tersebut mengalami tren penurunan seiring pemulihan dari krisis 1998. Angka kemiskinan setelah penerapan kenaikan harga BBM melonjak dari 35,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada 2006. Jumlah penduduk miskin ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2000 padahal saat itu Indonesia masih berada dalam tahap awal pemulihan ekonomi.

Efek kerusakan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM terlihat jauh lebih dalam dan meluas daripada yang diyakini oleh para pendukung kebijakan tersebut. Dampak deindustrialisasi terlihat nyata dengan menurunnya tingkat pertumbuhan manufaktur dari angka 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007). Ini kemudian berperan meningkatkan kenaikan angka pengangguran dari 9,9% (2004) menjadi 10,3% (2005) dan 10,4% (2006). Nyatalah bahwa program kompensasi maupun penanggulangan kemiskinan pemerintah sangat tidak memadai dalam mencegah kerusakan sosio-ekonomi sehingga hasil akhirnya hanyalah dampak psikologis berupa hiburan sementara bagi rakyat miskin. Program BLT menjadi pelengkap dari apa yang oleh pemerintah diistilahkan sebagai "pertimbangan polsoskam (politik, sosial, dan keamanan)" dalam liberalisasi migas.


Bila fakta di lapangan maupun angka yang tercatat menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM memperparah proses pemiskinan, maka patut ditanyakan siapa yang paling berkepentingan dalam mendorong kebijakan ini? Bahkan bila alasan yang digunakan pemerintah adalah untuk mengurangi beban subsidi dan utang negara, nyatanya pertambahan utang negara tetap bertumbuh sangat pesat, bahkan lebih pesat dari pemerintahan sebelum SBY. Data resmi Dirjen Pengelolaan Utang menunjukkan bahwa selama 5 tahun pemerintahan SBY, utang pemerintah meningkat sebesar Rp 392 trilyun, dari Rp 1275 trilyun (2004) menjadi Rp 1667 trilyun (Januari 2009). Dengan demikian pertambahan utang per tahunnya hampir mencapai 80 trilyun; angka ini jauh melebihi pemerintahan Megawati (Rp 4 trilyun/tahun) dan bahkan Orde Baru (Rp 46,8 trilyun/tahun). Padahal kenaikan harga BBM adalah salah satu kebijakan pengetatan anggaran yang dilakukan pemerintah sejak krisis Asia untuk mempercepat pelunasan utang.

Dengan gugurnya satu-persatu pembenaran pemerintah terhadap kenaikan harga BBM, semakin jelaslah bahwa alasan sebenarnya penerapan kebijakan tersebut justru disembunyikan; yakni untuk melayani kepentingan perusahaan-perusahaan minyak swasta, baik domestik maupun internasional, yang hendak mengambil keuntungan dari pasar BBM domestik. George Junus Aditjondro menyorot hal ini dengan menunjukkan banyaknya anggota kabinet SBY yang memiliki kepentingan bisnis di bidang migas. Ia juga mengangkat peran Shell yang berhubungan dengan Aburizal Bakrie dalam mendanai Freedom Institute, yang terkenal berada di baris terdepan mendukung kenaikan BBM pada 2005. Maka program penanggulangan kemiskinan pemerintah SBY harus dilihat dalam big picture, yang ternyata adalah sogokan kepada rakyat untuk memuluskan penerapan kebijakan neoliberal.

Kemiskinan Dalam Perspektif Neoliberal

Paham neoliberal yang menjunjung tinggi supremasi pasar bukan berarti menolak setiap peran aktif oleh pemerintah. Pemerintah tetap dituntut berperan aktif memperkokoh struktur dan fungsi militer, kepolisian dan hukum untuk melindungi hak milik pribadi, tepatnya kepentingan ekonomi swasta yang besar.

Dalam bidang keuangan, ini terwujud dengan komitmen pemerintah untuk melunasi utang-utangnya kepada pihak swasta. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk melaksanakan peralihan ke mekanisme pasar di berbagai bidang yang sebelumnya tidak didominasi mekanisme pasar, seperti contohnya dalam pendidikan, jaminan sosial, kesehatan, pengadaan bahan pangan pokok, termasuk penjualan BBM. Hal ini diwajibkan oleh neoliberalisme meskipun terdapat penentangan besar oleh masyarakat, dan meskipun dibutuhkan menggunakan kekerasan. Yang tidak dikehendaki oleh neoliberalisme adalah peran pemerintah yang membatasi atau mengendalikan kekuasaan swasta, terutama modal keuangan/finansial swasta. Selama peran pemerintah mendukung atau mengamankan proses akumulasi modal swasta, maka itu sejalan dengan paham neoliberal.

Perspektif inilah yang mendasari kebijakan penanggulangan-kemiskinan yang berkarakter neoliberal. Sebagaimana dijelaskan oleh Carlos Vilas: "Neoliberalisme memandang peningkatan kemiskinan sebagai suatu penyakit, bukannya konsekuensi sistem ekonomi yang ada." Kemiskinan dipercaya sebagai sakit ngilu awal yang akan mereda dan hilang seiring meningkatnya proses akumulasi modal dan menguatnya kinerja ekonomi; di mana kemudian kekayaan akan trickle down untuk menghapus kemiskinan. Maka program penanggulangannya pun tidak pernah dijadikan agenda utama, melainkan dibatasi pada kebijakan-kebijakan spesifik dengan sumber daya terbatas dengan tujuan mencegah rakyat semakin terperosok dalam kemiskinan, bukannya mengeluarkan rakyat dari lubang kemiskinan.

Lebih lanjut lagi Vilas merinci bahwa tiap kebijakan sosial menjalankan dua fungsi utama. Pertama sebagai pendukung reproduksi tenaga kerja, dan kedua untuk melegitimasi tatanan politik yang ada dengan cara menciptakan konsensi (sogokan) dengan penduduk yang menjadi sasarannya. Keterbatasan anggaran kebijakan sosial dalam rejim neoliberal menyebabkan kedua fungsi di atas sulit untuk dipenuhi, sehingga pelaksanaannya tidaklah reguler dan ekstensif melainkan difokuskan pada momen-momen tertentu.

Dalam neoliberalisme, menurut Vilas, kebijakan sosial seperti penanggulangan kemiskinan dapat diidentifikasi dengan tiga karakteristik dasar yang saling kait mengait: privatisasi, pentargetan (targeting), dan desentralisasi. Privatisasi dipandang sebagai upaya untuk meringankan beban anggaran. Bagi rakyat miskin di Indonesia yang tidak pernah menikmati layanan kesejahteraan publik yang universal, privatisasi akan semakin membumbungkan biaya kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya, yang sudah mahal karena besarnya peran swasta di bidang-bidang tersebut. Dalam program penanggulangan kemiskinan pemerintahan SBY, trend privatisasi dapat ditelusuri dengan semakin terungkapnya sumber pendanaan yang berasal dari utang. Utang pemerintah ini, baik yang berasal dari domestik maupun luar negeri, sebagian besar berasal dari bank-bank swasta. Sehingga menciptakan ironi tersendiri di mana kemiskinan ditanggulangi dengan utang yang harus dibayar kepada swasta, tentunya dengan cara pengetatan yang lebih intensif.

Karakteristik kedua berupa pentargetan merupakan konsekuensi langsung dari menyusutnya anggaran pembelanjaan sosial. Walaupun dalih yang dikemukakan kaum neoliberal seolah-olah bertujuan agar sumber daya dapat dialokasikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan, bukannya digunakan secara universal dan menyeluruh sebagaimana berlaku dalam paradigma ekonomi lainnya, seperti welfare state dan Keynesianism. Untuk melaksanakan ini, pemerintahan neoliberal berkepentingan untuk merampingkan dan merasionalisasi institusi-institusi negara yang akan menyalurkan atau menjalankan program penanggulangan kemiskinan, agar sumber daya yang sudah sedikit dapat digunakan seefisien mungkin untuk memenuhi fungsi reproduksi sosial dan legitimasi politik yang disinggung di atas.

Dalam prakteknya, target penyaluran dapat diselewengkan dengan berbagai macam cara oleh pemerintahan neoliberal. Dalam pemerintahan SBY, contohnya, jumlah rakyat berkategori miskin yang berhak menerima program penanggulangan kemiskinan dikurangi secara signifikan dengan digunakannya definisi kemiskinan yang sempit oleh BPS. Selain itu, kemampuan rakyat miskin dalam mengakses fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah sangat terbatas dan dipengaruhi oleh kekuatan advokasi mereka yang biasanya diperoleh dari keterlibatan dan keanggotaan dalam organisasi; karena secara individu posisi rakyat miskin dalam menghadapi birokrasi negara, yang seringkali bertindak sewenang-wenang, jauh lebih lemah dibandingkan dengan kelas masyarakat lainnya seperti kelas menengah.

Secara wacana, desentralisasi dikedepankan oleh kaum neoliberal untuk merampingkan fungsi sosial negara, sehingga sejalan dengan pengetatan biaya operasional pemerintah. Desentralisasi dilakukan dengan melibatkan rakyat dalam pelaksanaan program-program pemerintah. Karakteristik ini sesungguhnya memberikan ruang dan kesempatan bagi partisipasi rakyat yang lebih aktif, dan melibatkan organisasi di luar pemerintah, seperti LSM. Namun desentralisasi dalam konteks neoliberal terbatas hanya pada implementasi atau pelaksanaan program, bukan perancangan program yang tentunya mensyaratkan partisipasi politik warga.

Marlo Sitompul, 
Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia Periode 2008-2013
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia