Penderitaan rakyat sudah naik seleher. Dimana-mana rakyat sulit mendapatkan pekerjaan, upah layak dan mengakses kebutuhan dasarnya. Daya beli rakyat Indonesia juga sudah merosot tajam. Segala macam cara pun dipakai untuk mensiasati hidup: tempe diiris lebih tipis, nasi diganti mie instan satu kamar kos ditempati bersama dan lain-lain.
Tapi penderitaan rakyat ini akan semakin berat. Sebab, pada 1 April mendatang, Presiden SBY kembali akan menaikkan harga BBM. Tentu saja, bagi rakyat miskin, kenaikan harga BBM itu berarti: harga barang akan naik, tariff angkutan akan naik, sewa kost/perumahan juga naik, biaya produksi usaha kecil juga naik, dan semua komponen biaya hidup akan naik.
SRMI dengan tegas menolak kenaikan harga BBM tersebut. Ada beberapa posisi penjelasan SRMI yang berbeda dengan pemerintah:
Pertama, jika alasannya defisit APBN karena subsidi BBM, maka kami mengatakan itu adalah argumentasi keliru dan sangat anti-rakyat. Sebab, subsidi BBM yang menyangkut ratusan juta rakyat Indonesia cuma 9% dari APBN, sedangkan anggaran untuk membiayai 4,5 juta pejabat dan aparaturnya mencapai Rp 215,7 trilyun atau hampir 15% dari APBN.
Kedua, kalau alasannya kenaikan harga minyak dunia, kenapa pemerintah tidak berjuang keras mengurangi impor BBM dengan menaikkan produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional. Yang terjadi, sejak SBY menjadi Presiden adalah lifting minyak nasional terus merosot: dari 1,4 juta barel perhari pada tahun 2004 menjadi 890.000 barrel sekarang ini.
Ketiga, ternyata pencabutan subsidi BBM adalah agenda yang dipaksakan oleh lembaga atau organisasi yang disetir oleh kapitalisme global, seperti IMF, Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD. Sejak tahun 2008 lalu, Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) sudah “mengejar-ngejar” pemerintah Indonesia agar memastikan penghapusan subsidi BBM paling lambat tahun 2014.
Keempat, Indonesia sebetulnya punya potensi migas yang besar. Sayang sekali, hampir semua tampuk produksi migas dikuasai asing: 80-90% ladang migas nasional dikuasai asing. Hal ini terjadi karena pemerintah mengesahkan UU nomor 22 tahun 2001 yang sangat bertentangan dengan prinsip ekonomi kita: pasal 33 UUD 1945.
Kelima, kenaikan harga BBM adalah prakondisi pemerintahan Indonesia untuk mengarahkan proses distribusi dan penjualan BBM Indonesia sesuai dengan mekanisme pasar. Pemerintah bercita-cita membawa harga BBM seusai dengan harga “keekonomian pasar” dunia. Dengan demikian, pemain migas asing bisa membangun SPBU di Indonesia dan terlibat dalam bisnis BBM.
Bagi kami, upaya memaksakan kenaikan harga BBM sangatlah bertentangan dengan jiwa konstitusi: pasal 33 UUD 1945.
Berikut tuntutan politik kami:
- Batalkan rencana menaikkan harga BBM!
- Cabut UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas karena sangat berbau liberalisme dan merugikan kepentingan bangsa.
- Kembalikan tata-kelola migas sesuai amanat pasal 33 UUD 1945!
- Naikkan keuntungan dari pengelolaan migas untuk membiayai program pendidikan gratis, kesehatan gratis, perumahan rakyat, dan modal usaha bagi rakyat.
Demikian statemen ini dibuat. Atas kerjasamanya kami mengucapkan banyak terima kasih.
Jakarta, 22 Maret 2012