Oleh: Rudi Hartono*)
Artikel ini berusaha menyoroti perilaku kolonialis dan warisan struktur berupa kaum oligarki di negeri jajahan saat ini. Beberapa saat yang lalu, Bank Dunia sudah memaparkan: 1,4 miliar umat manusia di dunia ketiga hidup dalam kemiskinan, dan sebagian besar dari Negara-negara ini adalah bekas jajahan.
Ada banyak ahli dan penulis yang telah memaparkan hal ini, dan tentunya karya mereka jauh lebih lengkap. Namun, terkait artikel ini, saya hendak menyegerkan kembali ingatan kita mengenai pengalaman terburuk di masa lampau ini: kemakmuran negeri-negeri imperialisme itu dibayar melalui penaklukan, perampokan, dan penguasaan sumber daya dan tenaga kerja dunia ketiga selama beratus-ratus tahun.
Tentu saja, pengaruh atau dimensi kolonialisme tidak sebatas pada aspek ekonomi saja, namun mencakup aspek yang luas, seperti politik, sosial, dan budaya. Seperti pernah dikatakan seorang pejuang anti-kolonial terkemuka, Franz Fanon, 1966, bahwa Kolonialisme tidak hanya merampas kebebasan dan kekayaan rakyat, tetapi juga karakternya, dan meninggalkan rakyat dalam kebingungan intelektual dan moral.
Di aspek sosial dan budaya, muncul perasaan psikologis yang ter-dehumanisasi oleh penjajah, terutama kalau penjajah (kolonialisator) memaksakan kebudayaan asing. Kolonialisme adalah sebuah system yang didukung oleh segala ideology rasis, dan dilembagakan dalam ruang kebudayaan untuk berdominasi.
Namun, dalam artikel ini, saya sedang berusaha fokus pada aspek ekonomi, tanpa bermaksud mengesampingkan aspek lain. Ini supaya mudah menemukan benang merah ketergantungan ekonomi kita saat ini terhadap asing, serta mengurai mental pejabat (oligarki) nasional yang benar-benar “menjilat” kepentingan asing.
Kolonialisme dan Ketergantungan
Kolonialisme abad ke 17 dan ke 19 merupakan bagian dari perluasan produksi kapitalis eropa paska revolusi Industri. Tujuan utama kolonialisme bukanlah pemindahan penduduk metropolitan untuk mengisi koloni, dan kemudian mengembangkan pertanian mereka di Negara koloni, seperti yang pernah dilakukan oleh kekaisaran Romawi (dan sebelumnya). Akan tetapi, seperti dikatakan V.I Lenin, kolonialisme berfungsi untuk menguasai ekonomi dunia ketiga, terutama tenaga kerja, bahan baku (SDA), pasar, dan menjadikannya lahan investasi untuk mengembang-biakkan modal metropolis.
Situasi ini mendorong timbulnya hubungan monopolis-perdagangan oleh Negara penjajah terhadap Negara jajahan. Untuk menjamin kelangsungan monopoli ini, penguasa kolonial telah menginstal semacam dinamika sosial dan ekonomi baru di negeri jajahan, sebuah konsep reproduksi sosial bagi kapitalisme di negeri jajahan.
Implikasi kolonialisme di bidang ekonomi, antara lain, adalah menghilang segala bentuk usaha nyata untuk pembangunan ekonomi, dan merampok ataupun menyita seluruh sumber daya produktif. Segera setelah kolonialisator meninggalkan koloninya, mereka hanya menyisakan kehancuran sumber daya dan syarat-syarat kemajuan ekonomis.
Untuk itu, Negara jajahan, dalam beberapa kasus umum, dipaksa menerapkan system pertanian monokultur non-teknologi, dan tingkat nilai profitable rendah. Disamping, misalnya, pengembangan agro-berorientasi ekspor untuk memuaskan pasar dominan di negeri kolonialis. Dalam beberapa kasus, penguasa kolonial memanfaatkan penguasa lokal (raja, bangsawan, dan) pemuka agama) untuk mendapatkan akses tanah luas dan sekaligus tenaga kerja murah-massal. Ini sangat nampak di Indonesia, ketika penguasa kolonial menerapkan sistim tanam paksa di berbagai tempat di Indonesia pada tahun 1830.
Ekonom Amerika Latin, Celso Furtado, mencoba menjelaskan pola-pola kolonialisme bekerja; (1) keberadaan area luas tak termanfaatkan tidak diijinkan untuk dikelola intensifikasi, melainkan hanya ekstensifikasi, serta tidak diarahkan kepada pertanian modern dan intensif. (2) proses akumulasi keuntungan oleh pemerintah kolonial langsung dibawa ke negerinya, sedangkan bagian untuk elit lokal langsung dikonsumsi untuk foya2 atau sekedar pamer, bukan berinvestasi pada sektor produktif. (3) akibat dari struktur ekonomi yang terstruktur dan tersentralisasi di bawah kaki kolonial, maka sebagian besar rakyat hidup dalam penderitaan dan ketidaksetaraan.
Semua proses ini, bagaimanapun, dipelihara melalui pemaksaan dan kekerasan militer, sehingga bisa memastikan pengaliran sumber kekayaan dan keuntungan dalam jumlah besar ke negeri penguasa kolonial, dan meninggalkan kesengsaraan luar biasa bagi rakyat di negeri jajahan.
Hingga tahun 1958, hampir 80% dari hasil-hasil perkebunan Indonesia yang mengalir ke Eropa ditampung oleh pedagang-pedagang Belanda di Amsterdam atau Rotterdam. Kemudian, sampai akhir tahun 1957, sebagian besar perekonomian Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda
Negara penjajah perlu menjaga “keterbelakangan” koloni, sebagai sebuah prasyarat untuk menciptakan ketergantungan setelah perpisahan. Bahkan pembuatan produk seperti paku pun dilarang oleh penguasa kolonial, demi untuk menjaga kesetiaan dan ketergantungan terhadap keunggulan negeri penjajah. Ini menghasilkan sebuah dua sisi koin yang sangat berbeda; Negara kolonial menjadi sangat makmur karena proses akumulasi primitive, sedangkan Negara jajahan terlampau sangat miskin karena segala kepunyaannya telah dirampas.
Seperti sekarang ini, Kita, bangsa Indonesia, dipaksa menjadi spesialis ekspor bahan mentah untuk menghidupi industry negeri-negeri maju. Sedangkan Negara imperialis enggan, bahkan menolak untuk memberikan teknologi dan menghambat kita untuk menciptakan industry olahan bahan mentah. Akibatnya, kemiskinan tetap mencekik leher petani, buruh upahan, dan kapitalis kecil di dalam negeri, karena hasil bumi dan kekayaan alam tidak menciptkan nilai tambah.
Warisan Oligarki
Dalam mengoperasionalkan praktek eksploitasi terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja di negeri jajahan, penguasa kolonial memanfaatkan jasa penguasa lokal yang telah diberi dua opsi: bekerjasama dengan penguasa kolonial atau digusur dari kekuasaannya. Elit penguasa lokal ini telah menjadi aktor penting dalam scenario ekonomi dan politik di negeri jajahan.
Kehadiran penguasa lokal dalam model ekonomi yang lebih menyerupai “perampokan” itu, hanya berfungsi seolah seperti penadah “barang” sebelum dijual ke pembeli utama. Setelah mereka mendapatkan “recehan” dari posisi mereka, penguasa lokal ini tidak memanfaatkannya untuk investasi di sektor produktif, melainkan mengkonsumsinya; foya-foya dan pamer harta.
Lantas, bagaimana mereka bisa bertansformasi menjadi oligharki paska kemerdekaan atau pemisahan dengan Negara kolonial. Setelah kemerdekaan, dalam berbagai hal, penguasa-penguasa lokal ini tetap menjaga hubungan baik dengan Negara kolonial, dan menjadi semacam agen (penghubung) kepentingan mereka di negeri jajahan.
Ketika perjuangan pembebasan nasional sedang memuncak, posisi mereka mungkin saja terpendam dan berpura-pura anti kolonial. Setelah tentara atau administrasi kolonial ditarik, kekuasaan terkadang ditransfer kepada elit lokal, dan sering sekali mereka mempertahankan kepentingan, budaya, dan administrasi kolonial di negeri jajahan.
Di Indonesia, elit lokal tak berkutik ketika gerakan pembebasan nasional berkobar-kobar di seantero nusantara, dan mereka pun berpura-pura anti-kolonial dan mendukung revolusi anti-imperialis. Namun, seperti diketahui, elit lokal yang sering dikenal dengan istilah “kapitalis birokrat” telah berkembang seiring dengan proses revolusioner.
Sejarahwan Soviet, A.B Belenky dan V.I Illichev mengatakan, “demokrasi terpimpin” berjalan seiring dengan semboyan perjuangan melawan imperialisme dan kaum reaksi, bersamaan dengan pelikuidasian para pemberontak separatis dan pembubaran partai kanan----PSI dan Masyumi, nasionalisasi kapital Belanda, AS, dan Eropa, dan diundangkannya UU pokok agraria. Namun, kaum kiri telah kurang menyadari dampak negatif terselubung di balik demokrasi terpimpin ini----menguatnya kapitalisme birokrat dan pencoleng uang negara.
Dalam perkembangannya hingga hari ini, kelompok inilah yang bersama-sama pihak asing menguasai sumber-sumber ekonomi, dan menyandarkan penguasaannya itu melalui kekuasaan politik.
Dalam membahas hal ini, Michael Kalecki, seorang ekonom progressive mengatakan, kekuatan perjuangan anti kolonial di negeri jajahan memang kebanyakan adalah buruh, petani, dan borjuis kecil, sedangkan borjuis besar senantiasa memilih satu lintasan dengan kapitalis asing. Sebaliknya, menurut Darsono, seorang pemimpin kiri Indonesia tahun 1920-an, borjuis kecil di Indonesia tidak punya peluang menjadi borjuis besar, sebab ruang mereka sudah ditempati oleh borjuis asing (kapitalis negeri penjajah, eropa, Arab, dan China).
Pendapat Darsono ada benarnya. Sebab, seperti dicatat Robinson, kendati pengusaha nasional berkembang setelah kemerdekaan, namun jumlah capital dan lapangan usahanya masih kalah dengan pengusaha asing non-eropa, khususnya China dan Arab. Sebagai contoh, pada tahun 1950, produksi rokok putih berada di tangan produsen asing dan China.
Dari keseluruhan pengusaha nasional Indonesia ketika itu, hampir seluruhnya berasal dari keluarga priayi, dan keluarganya punya peranan dalam struktur ekonomi kolonial sebelumnya. Misalnya saja, R.M Kusmuljono, seorang pengusaha perkebunan besar, adalah seorang keturunan priayi Jawa.
*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin Redaksi Berdikari Online, dan pengelola jurnal Arah Kiri .