Akulturasi bangsa China dengan penduduk di Nusantara sudah terjalin sejak lama, setidaknya berawal dari hubungan niaga pada abad ke-13. Jumlah kedatangan makin meningkat setelah ekspedisi armada Chengho pada abad ke-15.
Selanjutnya, banyak orang China yang kemudian menetap di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Di Jawa Barat, sebagian besar orang China bertempat tinggal di pelabuhan terkemuka pada masa itu, seperti Jayakarta, Banten, dan Cirebon. Di Cirebon, misalnya, jejak pendaratan pertama ditandai dengan Kelenteng Talang, kelenteng tertua di Kota Cirebon. Tan Sam Cay, seorang Muslim Tionghoa yang diberi gelar Tumenggung Aria Dipa Wiracula oleh Sultan Cirebon mendirikan kelenteng tersebut pada tahun 1450.
Selain berdagang, pendatang China juga bersawah atau menjadi buruh. Mereka dikenal sebagai pekerja rajin dan ulet. Tak mengherankan, tenaga pendatang China banyak dimanfaatkan pemerintah Hindia Belanda untuk membangun Kota Batavia pada awal abad ke-17.
Seiring menguatnya kekuasaan, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun sejumlah kota beserta fasilitas jalan dan transportasi di wilayah pedalaman Jabar. Pada awal abad ke-19, pemerintah kolonial mendatangkan ratusan pekerja China dalam pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dan pemasangan jalur rel kereta api. Sejak itulah, keluarga-keluarga dari China berdatangan ke berbagai wilayah di Jabar.
Namun, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan lintas ("pass") dan pengelompokan etnis ("zoning system"). Pendatang China tidak diperbolehkan melintasi wilayah tanpa izin, serta diharuskan menetap di kawasan yang sudah ditentukan. Maka, muncullah kampung-kampung China atau pecinan di kota-kota persinggahan, seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, dan Cirebon.
(NDW/LITBANG KOMPAS)