Semakin hari semakin jelas, negara (baca juga: Pemerintahan SBY-JK) melepaskan perannya dalam mencerdaskan bangsa. Melalui Perpres No 77/2007 yang menghalalkan liberalisasi pendidikan, nasib pendidikan rakyat Indonesia diserahkan pada kepentingan modal asing.
Walau Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, penanaman modal asing masih terbatas, baik lokasi maupun jenisnya, (Kompas, 19 September 2007) itikad Perpres ini jelas menunjukkan tindakan komersialisasi pendidikan seperti yang diamanatkan World Trade Organization, WTO. Negara-negara neoliberal tentu berkepentingan sekali dengan usaha pendidikan ini. Tak sekadar mengambil keuntungan dari segi bisnis, tapi juga menanamkan nilai-nilai pendidikan yang berbeda dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan adalah tugas penting bagi Republik ini seperti juga yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang merupakan salah satu Tujuan Nasional: “Memajukan kesejahteraan umum dan Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti kesejahteraan umum, yakni kesejahteraan warganegara atau rakyat menjadi pokok cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945. Pokok yang lain yang seiring dengan kemajuan kesejahteraan umum itu adalah tingkat kecerdasan rakyat.
Karenanya dengan bekerja mencerdaskan kehidupan bangsa, kita juga bekerja untuk memajukan kesejahteraan umum. Karena itu benarlah konstitusi kita yang mengatur soal pendidikan (pasal 31 UUD 1945): setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
Itu pun sudah ditegaskan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Tapi mengapa komitment konstitusional ini tak kelihatan gairah kerjanya? Bila kita melihat ke belakang, betapa kita memiliki sejarah yang baik dalam soal pendidikan.
Itu pun ketika masih dalam cengkraman kolonialisme. Namun justru di bawah tawaran dan sistem pendidikan kolonialisme, pendidikan alternatif untuk mencerdaskan rakyat dipikirkan, diolah, dibangun dan dikembangkan oleh kaum pergerakan sebagai bagian dari pengorganisiran rakyat untuk melawan kekuasaan kolonial.
Sekolah-sekolah liar yang tak mengikuti kurikulum dan aturan pendidikan kolonial didirikan. Hasilnya adalah sekolah-sekolah Taman Siswa di bawah bimbingan Suwardi Suryoningrat yang berpedoman: Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa sung Tuladha; sekolah Boedi Oetomo pun didirikan, sepak-terjangnya dapat kita baca dalam cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer karena ayahnya sendiri adalah seorang guru di sekolah Boedi Oetomo yang sadar betul betapa penting peranan pendidikan bagi kemajuan bangsanya.
Tak lupa: Sekolah-sekolah Serikat Islam di Semarang di bawah bimbingan Tan Malaka yang dengan segala keterbatasan yang ada: dana dan fasilitas, sekolah SI itu sanggup berkembang di kalangan rakyat miskin Semarang dan menanamkan benih anti-kolonialisme dan kapitalisme.
Sebelumnya bahkan Kartini telah memulai pendidikan untuk kaum perempuan di Rembang dan sekitarnya. Kartini bahkan memandang pendidikan bagi kaum perempuan sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya, oleh karena ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik. (baca juga: Saskia Wierenga, Kuntilanak Wangi, Kalyanamitra, 1998;5-6) Di samping Kartini, kita masih mengenal perempuan-perempuan seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat dan Rohana Kudus dari Minangkabau, Sumatra Barat yang sama-sama tinggi komitmentnya dalam memajukan pendidikan kaum perempuan dan rakyatnya.
Sekolah-sekolah lain yang berperspektif sama entah itu didirikan oleh komunitas religius dan keagamaan tentu masih banyak yang bisa dituliskan.
Dengan demikian jelas: para pejuang dan pendiri bangsa dan republik ini baik lelaki maupun perempuan bahu-membahu berusaha mencerdaskan rakyat dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki.
Kerelaan dan komitmen mereka dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, patutlah dijadikan cermin untuk memajukan pendidikan nasional kita saat ini. Namun melalui Perpres No 77/2007, cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa dan republik ini justru diacuhkan. Pendidikan dijadikan barang dagangan dan rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih dengan 102, 6 juta penduduk usia sekolah dijadikan pangsa pasar.
Tepat sekali yang dikatakan Sofian Effendi, Perpres No 77/2007 merupakan …musibah nasional. ***
Walau Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan, penanaman modal asing masih terbatas, baik lokasi maupun jenisnya, (Kompas, 19 September 2007) itikad Perpres ini jelas menunjukkan tindakan komersialisasi pendidikan seperti yang diamanatkan World Trade Organization, WTO. Negara-negara neoliberal tentu berkepentingan sekali dengan usaha pendidikan ini. Tak sekadar mengambil keuntungan dari segi bisnis, tapi juga menanamkan nilai-nilai pendidikan yang berbeda dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan adalah tugas penting bagi Republik ini seperti juga yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang merupakan salah satu Tujuan Nasional: “Memajukan kesejahteraan umum dan Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti kesejahteraan umum, yakni kesejahteraan warganegara atau rakyat menjadi pokok cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945. Pokok yang lain yang seiring dengan kemajuan kesejahteraan umum itu adalah tingkat kecerdasan rakyat.
Karenanya dengan bekerja mencerdaskan kehidupan bangsa, kita juga bekerja untuk memajukan kesejahteraan umum. Karena itu benarlah konstitusi kita yang mengatur soal pendidikan (pasal 31 UUD 1945): setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.
Itu pun sudah ditegaskan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Tapi mengapa komitment konstitusional ini tak kelihatan gairah kerjanya? Bila kita melihat ke belakang, betapa kita memiliki sejarah yang baik dalam soal pendidikan.
Itu pun ketika masih dalam cengkraman kolonialisme. Namun justru di bawah tawaran dan sistem pendidikan kolonialisme, pendidikan alternatif untuk mencerdaskan rakyat dipikirkan, diolah, dibangun dan dikembangkan oleh kaum pergerakan sebagai bagian dari pengorganisiran rakyat untuk melawan kekuasaan kolonial.
Sekolah-sekolah liar yang tak mengikuti kurikulum dan aturan pendidikan kolonial didirikan. Hasilnya adalah sekolah-sekolah Taman Siswa di bawah bimbingan Suwardi Suryoningrat yang berpedoman: Tut Wuri Handayani, Ing Madya Mangun Karsa, Ing Ngarsa sung Tuladha; sekolah Boedi Oetomo pun didirikan, sepak-terjangnya dapat kita baca dalam cerita-cerita Pramoedya Ananta Toer karena ayahnya sendiri adalah seorang guru di sekolah Boedi Oetomo yang sadar betul betapa penting peranan pendidikan bagi kemajuan bangsanya.
Tak lupa: Sekolah-sekolah Serikat Islam di Semarang di bawah bimbingan Tan Malaka yang dengan segala keterbatasan yang ada: dana dan fasilitas, sekolah SI itu sanggup berkembang di kalangan rakyat miskin Semarang dan menanamkan benih anti-kolonialisme dan kapitalisme.
Sebelumnya bahkan Kartini telah memulai pendidikan untuk kaum perempuan di Rembang dan sekitarnya. Kartini bahkan memandang pendidikan bagi kaum perempuan sebagai salah satu syarat penting untuk memajukan rakyatnya, oleh karena ibu yang terpelajar bisa diharapkan kemampuannya dalam mendidik anak-anak lebih baik. (baca juga: Saskia Wierenga, Kuntilanak Wangi, Kalyanamitra, 1998;5-6) Di samping Kartini, kita masih mengenal perempuan-perempuan seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat dan Rohana Kudus dari Minangkabau, Sumatra Barat yang sama-sama tinggi komitmentnya dalam memajukan pendidikan kaum perempuan dan rakyatnya.
Sekolah-sekolah lain yang berperspektif sama entah itu didirikan oleh komunitas religius dan keagamaan tentu masih banyak yang bisa dituliskan.
Dengan demikian jelas: para pejuang dan pendiri bangsa dan republik ini baik lelaki maupun perempuan bahu-membahu berusaha mencerdaskan rakyat dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki.
Kerelaan dan komitmen mereka dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, patutlah dijadikan cermin untuk memajukan pendidikan nasional kita saat ini. Namun melalui Perpres No 77/2007, cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa dan republik ini justru diacuhkan. Pendidikan dijadikan barang dagangan dan rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih dengan 102, 6 juta penduduk usia sekolah dijadikan pangsa pasar.
Tepat sekali yang dikatakan Sofian Effendi, Perpres No 77/2007 merupakan …musibah nasional. ***