Sabtu, 23 Januari 2010

“Dua Bangsa”

Krupskaya pernah menceritakan kenangannya bersama Lenin, ketika keduanya diasingkan ke London pada awal abad 20, bahwa mereka berdua sering berjalan-jalan melalui tempat-tempat yang sering dikunjungi kaum borjuis, kemudian mereka berjalan pula melalui daerah-daerah tempat tinggal kaum proletar. Dalam kenangan Krupskaya, Lenin begitu mengamati perbedaan mencolok itu, seolah-olah dua bangsa. Lenin berkata: “dua Negara dalam satu Negara”.




Sekarang ini, setelah 6 dasawarsa setelah perjuangan anti-kolonial, kita menemukan situasi yang hampir sama dengan penjelasan Lenin di atas. Ada segelintir orang Indonesia yang menikmati posisi sangat istimewa, menghabiskan waktu liburnya di luar negeri, belanja keperluan hidupnya di luar negeri, dan mengidentifikasi kebudayaan mereka dengan barat atau eropa. Pada sisi lain, ada mayoritas rakyat Indonesia yang bergelimang penderitaan, hidup dengan pendapatan yang pas-pasan, dan tidak mengenal waktu libur dalam perjuangan memenuhi kebutuhan hidup.


Menurut ekonom ECONIT Hendri Saparini, ada sekitar 150 orang terkaya di Indonesia yang menguasai Rp650 trilyun, sedangkan 40 juta orang miskin hanya menikmati pendapatan Rp.6 ribu rupiah per-hari. Ekonomi memang tumbuh, tetapi hasilnya hanya dinikmati oleh sekitar 20% kalangan menengah dan kaum kaya. Akibatnya, kesenjangan ekonomi semakin melebar dalam beberapa tahun terakhir.


Hasil langsung dari proyek neoliberal ini adalah pertumbuhan sector informal, yang menurut catatan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), jumlahnya sudah berkisar 60-70% penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa sebagian besar rakyat kini tidak lagi terikat dengan ekonomi yang diorganisir oleh Negara, melainkan hidup dari ekonomi jalanan, perekonomian gelap, dan sebagainya.


Bagi orang miskin, seperti Tugimin, Samiyen, Poniman, dsb, Indonesia bukan lagi negeri impian (“Adil dan Makmur”) seperti pernah dijanjikan oleh founding father, tetapi telah menjadi negeri menyeramkan bagi orang-orang miskin dan kaum lemah. Hukum Negara bisa membiarkan rumah orang miskin dirubuhkan dan dibuldozer, sementara orang kaya tidak akan pernah kehabisan “kenikmatan” hidup, bahkan orang kaya bisa hidup menyenangkan di dalam penjara Negara.


Situasi di atas, mengutip Lenin, menjelaskan mengenai satu kondisi; sebuah bangsa yang retak menjadi dua komponen yang berbeda sekali. Perbedaan segelintir kaum kaya dan mayoritas kaum miskin bukan saja menjelaskan perbedaan ekonomi, tetapi juga menyingkap perbedaan kehidupan social, paradigma berfikir, pilihan bahasa, dan perbedaan psikologis.


Mereka, kaum kaya itu, mengisolasi pergaulan social mereka di pemukiman mewah, rumah makan mewah, sarana olahraga mewah, dan tempat belanja mewah, kemudian mereka menuding pergaulan social di luar mereka sebagai “kampungan”. Bahasa yang keluar dari mulut mereka sudah bercampur dengan bahasa asing, kemudian bahasa nasional dan local dicap sebagai “dekaden”.


Sekarang ini, nasionalisme dan politik kerakyatan dihakimi sebagai sejarah pemikiran di masa lalu, sudah tidak relevan, dan cenderung menyimpan otoritarianisme. Pendukung utama dari proses penghakiman ini adalah kalangan elit dan intelektual jebolan sekolah ternama di negeri maju. Mereka menyebut marxisme, sosialisme, ataupun nasionalisme progressif sangat dekat dengan otoritarianisme, sementara mereka sendiri mendirikan sebuah diktum absolute (otoriter); There is not alternative (TINA).


Kita seringkali menyaksikan, fikiran-fikiran progressif yang tumbuh dikalangan rakyat jelata dan kaum miskin dituding sebagai kecenderungan mesianik, sebab mereka berpendapat orang-orang miskin itu irasional dalam berfikir. Pada kenyataannya, kalangan elit dan intelektual pro-barat itu justru menjadi pembela irasional dari sebuah sistim ekonomi yang irasional pula. Kita perlu meminjam pendapat Rudolf Hilferfding di sini; “hukum dasar kapitalisme, yaitu akumulasi profit, itu bertentangan dengan moral kemanusiaan secara universal. Sebab, kecenderungan memperkaya diri sendiri berarti berdiri dari penghisapan atau penindasan terhadap orang lain. Bukankah penindasan dan penghisapan di kutuk oleh peradaban manusia?
Dulu, pada saat pergerakan kemerdekaan, kita, rakyat Indonesia, dipersatukan oleh tujuan untuk menghilangkan penindasan dan berjuang untuk kemakmuran bersama. Kini, setelah beberapa puluh tahun kemerdekaan, hasil perjuangan itu dinikmati oleh segelintir orang saja dan itupun karena ikatan mereka yang organik dengan penjajahan.


“Kita memang sama-sama Indonesia, tetapi anda Indonesia yang menghalalkan segala cara untuk kemakmuran pribadi, sedangkan kami Indonesia yang menghendaki kemakmuran bersama—seluruh rakyat Indonesia. Dan, karena itu, kita sangat berbeda tujuan”.


*) Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia