Kamis, 02 April 2009

Nasib Buruh dan Pemilu 2009


Bin Bin Tresnadi

Perdana Menteri Malaysia Abdullah bin Haji Ahmad Badawi memastikan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berlanjut pada pemulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak bisa dihindarkan. PHK ini sebagai dampak dari krisis keuangan global (Kompas, 17 Maret 2009). Sebelumnya, Sofjan Wanandi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan pengusaha sulit untuk menghindari PHK pasca Pemilu 2009 karena permintaan yang anjlok dan beban biaya produksi juga meningkat (Kompas, 13 Maret 2009).

Gelombang krisis akan menghantam negeri ini. Bangkrutnya dunia usaha membuat PHK tidak terhindarkan yang membuat jutaan rakyat akan menjadi pengangguran. Situasi ini bisa membuat banyak orang mengalami depresi, stress, gangguan kejiwaan dan mudah putus asa. Kita akan melihat lebih banyak lagi kasus orang yang terkena stress, gangguan mental bahkan sampai bunuh diri.

Pemilu 9 April hanya tinggal hitungan hari. Bagi kaum buruh, hasil pemilu legislatif ini, suka tidak suka, akan mempengaruhi kehidupan mereka secara nyata. Karena berbagai produk kebijakan akan lahir dari hasil pemilu, termasuk kebijakan tentang perburuhan. Persoalannya: apakah kebijakan-kebijakan tersebut akan melindungi kaum buruh ataukah justru akan melemparkan kaum buruh ke dalam barisan panjang pengangguran?

Dalam sejarahnya, kaum buruh hanya menjadi bulan-bulanan politik. Sejak Orde Baru berkuasa, di mana organisasi-organisasi massa dibubarkan dan kehidupan politik dijauhkan dari rakyat, kaum buruh praktis terlempar dari arena politik kekuasaan. Buruh hanya diperintahkan bekerja sebaik-baiknya di bidang pekerjaan masing-masing, sedangkan urusan politik merupakan urusan partai politik dan segelintir elit yang mengendalikan partai. Dalam kurun waktu tersebut, suara-suara buruh tidak pernah lagi terdengar dalam proses kebijakan politik di parlemen.

Demikian pula dengan masa reformasi, kendati ada kebebasan berorganisasi dan berpolitik mulai dijamin, tetapi representasi kekuatan politik buruh belum terwakili, meskipun ada partai yang mengklaim sebagai partai Buruh. Dua kali pemilu pasca reformasi (1999 dan 2004) tidak menjamin lahirnya kekuatan politik yang mewakili kepentingan buruh, malahan sebaliknya turut melegitimasi kebijakan perburuhan yang pro-neoliberal.

Bagaimana dengan pemilu 2009 ini? Pemilu 9 April 2009 ini akan diikuti oleh banyak calon/kandidat yang berasal dari aktivis buruh, baik di DPR RI, DPRD I dan DPRD II yang mengklaim mendapat dukungan dari basis massa serikat-serikat buruh dalam pencalonannya. Sebelumnya, para aktivis buruh yang maju menjadi caleg hanya karena kualitas individu. Dalam pemilu kali ini ada gambaran berbeda. Beberapa pimpinan serikat buruh seperti Dominggus Oktavianus, Ketua Umum Front Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Syaiful Badri, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Batam, Sukrisno Ketua Ikatan Serikat Buruh Indonesia (ISBI) dan lain lain, dengan dukungan organisasi, maju menjadi calon legislatif. Tentu saja ini dapat dikatakan sebagai wakil dari buruh, menjadi wakil dari organisasi serikat buruh yang bersama dibangun dan diperjuangkan. Dengan begitu para aktivis buruh semakin menyadari bahwa masuk dalam arena kekuasaan merupakan sarana politik penting guna mengubah sistim politik dan ekonomi yang tidak berpihak kepada buruh.

Peran para caleg aktivis buruh yang akan bertarung pada pemilu menemukan ujiannya. Ada dua persoalan krusial yang perlu dijawab oleh para caleg tersebut. Pertama, bagaimana memberikan jaminan agar buruh terhindar dari ancaman PHK massal. Kedua, bagaimana mengimplementasikan seperangkat kebijakan yang bertujuan memajukan standar hidup buruh.

Dalam kerangka itu, setidaknya perlu ada tindakan penyelamatan industri nasional. Salah satunya dengan cara meninjau ulang kebijakan energi yang berorientasi ekspor yang selanjutnya, penggunaan energi seperti minyak, gas, dan batubara untuk kebutuhan industri dalam negeri dan mengharuskan semua perusahaan pertambangan memfokuskan pada pemenuhan industri dalam negeri, dengan harga jual yang ditentukan pemerintah. Sedangkan untuk meningkatkan standar hidup buruh, perlu dikembangkan sistim jaminan sosial yang komprehensif berupa: Asuransi Kesehatan, Pensiun, Jaminan Bagi Penganggur, dan sebagainya.

Perubahan tidaklah datang dengan sendirinya. Bagi kaum buruh sendiri, tentu saja harus dengan cerdas dan tepat dalam menentukan pilihannya nanti. Karena itu, tak bisa lagi hanya sekedar memilih berdasarkan kedekatan primodial ataupun hanya sekedar ikut-ikutan seperti pemilu-pemilu lalu. Tapi harus juga dengan benar dan cerdas memilih para caleg yang benar-benar telah teruji dalam perjuangan di jalan-jalan dan pabrik-pabrik. Aktivis buruh yang selama ini berjuang bersama kaum buruh bisa menjadi harapan karena dari merekalah kita bisa menagih komitmennya untuk memperjuangkan nasib buruh menjadi lebih baik.***

 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia