Keuntungan hasil pertanian mengalir ke pemodal
Petani menuding pemerintah berdosa pada sektor pertanian. Setidaknya, ada sembilan persoalan yang menjadi indikasi kebijakan pertanian sepanjang 2008 yang semakin tidak bersahabat dengan sektor strategis tersebut.
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyalahkan pemerintah yang tidak dapat menangkal kemiskinan di kalangan petani. Euforia swasembada beras yang dibanggakan pemerintah pun tidak berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang tercatat semakin tipis atau hanya Rp1,527 juta per tahun per kapita.
Sementara itu, peningkatan pelaku usaha pertanian justru diiringi pertambahan jumlah petani gurem yang mencapai 55,1% dari 15,6 juta rumah tangga petani. Porsi petani gurem terus meningkat dari catatan sensus pertanian pada 1993 sebesar 51,9%.
Di sisi lain, kepemilikan lahan petani gurem juga semakin tergerus menjadi hanya 0,43 hektare (ha) per petani dari rata-rata 0,5 ha yang tercatat pada sensus pertanian 1993.
"Kondisi pertanian sepanjang 2008 tidak banyak berubah. Pemerintah hanya peduli dengan investor besar ketimbang petani kecil. Arah pembangunan pertanian justru menghasilkan ketergantungan dan perlambatan, " tukas Ketua Umum SPI Henry Saragih.
Cara pemerintah mengelola sektor pertanian, tukasnya, bertolak belakang dengan situasi krisis kapitalisme global saat ini. Dosa pemerintah pada petani semakin besar karena revolusi hijau yang terus berlangsung.
Akibatnya, lanjut Henry, beberapa persoalan muncul karena ketidakcermatan pemerintah memilih kebijakan untuk menghadapi situasi lonjakan harga pangan dan krisis global pada 2008.
Sembilan pokok masalah yang menjadi sorotan SPI adalah reformasi agraria yang tidak segera selesai, penyediaan benih yang terabaikan, swasembada beras yang tidak dinikmati petani, kelangkaan pupuk, krisis kedelai, kontroversi impor daging sapi, gurun sawit yang makin luas, krisis pangan dan pelanggaran hak asasi petani.
Liberal Kapitalis
Pengamat pertanian SPI Khudori juga menyoroti kebijakan pemerintah yang terlalu liberal kapitalis menyebabkan keuntungan produksi hasil pertanian mengalir ke kantong pemodal.
"Pasar beras dan gabah misalnya, yang tidak adil bagi petani. Harga di tingkat konsumen dan di tingkat produsen bersifat asimetri karena pasar beras/gabah bersifat oligopoli," ujarnya gusar.
Selama ini pun, tambah Hendry, kepercayaan pemerintah kepada perusahaan membuat kemiskinan petani terus terpelihara. Padahal, petani dan buruh kecil adalah tenaga kerja langsung yang terlibat dalam penyediaan kebutuhan pangan.
Dalam hal produksi padi misalnya, menurut SPI, upaya pemerintah menaikkan produksi tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Hal ini tampak pada pendapatan petani padi sekitar Rp3.065-Rp8. 466 per hari per petani yang jauh di bawah pendapatan dalam kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia yang dipatok minimal US$2.
Salah satu kebijakan yang jelas tidak berpihak pada petani adalah kebijakan HPP yang hanya mengikuti tren inflasi setiap tahun. "Ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani,"tuturnya.
Dalam kebijakan perberasan 2008, dalam analisis SPI, kenaikan 10% untuk gabah kering panen (GKP), 9,2% gabah kering giling (GKG) penggilingan dan 7,2% GKG di petani, tidak mengikuti laju inflasi saat itu sebesar 6,56%.
HPP ini semakin ketinggalan ketika Mei 2008 pemerintah kembali menaikkan BBM sebesar 28,7% yang melonjakkan semua kebutuhan hidup, termasuk petani.
"Akhir 2008, walau harga BBM diturunkan dua kali, tetapi dengan laju inflasi sebesar 11,68% dan harga barang relatif tetap, peningkatan HPP pada Desember 2008 tidak berpengaruh nyata bagi petani," tegas Hendry.
Selain soal beras, keberpihakan pemerintah terhadap investor besar dan melupakan petani adalah perkebunan kelapa sawit.
Henry yang menyebut sawit sebagai gurun hijau yang semakin luas itu hanya dinikmati oleh perusahaan besar ketika harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melambung ke US$1.407 per ton.
Lonjakan harga CPO itu tidak diikuti dengan penyesuaian harga tandan buah segar (TBS) milik petani karena posisi tawarnya yang rendah pada perusahaan. (aprika.hernanda@ bisnis.co. id)
Oleh Aprika R. Hernanda
Wartawan Bisnis Indonesia
Petani menuding pemerintah berdosa pada sektor pertanian. Setidaknya, ada sembilan persoalan yang menjadi indikasi kebijakan pertanian sepanjang 2008 yang semakin tidak bersahabat dengan sektor strategis tersebut.
Serikat Petani Indonesia (SPI) menyalahkan pemerintah yang tidak dapat menangkal kemiskinan di kalangan petani. Euforia swasembada beras yang dibanggakan pemerintah pun tidak berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang tercatat semakin tipis atau hanya Rp1,527 juta per tahun per kapita.
Sementara itu, peningkatan pelaku usaha pertanian justru diiringi pertambahan jumlah petani gurem yang mencapai 55,1% dari 15,6 juta rumah tangga petani. Porsi petani gurem terus meningkat dari catatan sensus pertanian pada 1993 sebesar 51,9%.
Di sisi lain, kepemilikan lahan petani gurem juga semakin tergerus menjadi hanya 0,43 hektare (ha) per petani dari rata-rata 0,5 ha yang tercatat pada sensus pertanian 1993.
"Kondisi pertanian sepanjang 2008 tidak banyak berubah. Pemerintah hanya peduli dengan investor besar ketimbang petani kecil. Arah pembangunan pertanian justru menghasilkan ketergantungan dan perlambatan, " tukas Ketua Umum SPI Henry Saragih.
Cara pemerintah mengelola sektor pertanian, tukasnya, bertolak belakang dengan situasi krisis kapitalisme global saat ini. Dosa pemerintah pada petani semakin besar karena revolusi hijau yang terus berlangsung.
Akibatnya, lanjut Henry, beberapa persoalan muncul karena ketidakcermatan pemerintah memilih kebijakan untuk menghadapi situasi lonjakan harga pangan dan krisis global pada 2008.
Sembilan pokok masalah yang menjadi sorotan SPI adalah reformasi agraria yang tidak segera selesai, penyediaan benih yang terabaikan, swasembada beras yang tidak dinikmati petani, kelangkaan pupuk, krisis kedelai, kontroversi impor daging sapi, gurun sawit yang makin luas, krisis pangan dan pelanggaran hak asasi petani.
Liberal Kapitalis
Pengamat pertanian SPI Khudori juga menyoroti kebijakan pemerintah yang terlalu liberal kapitalis menyebabkan keuntungan produksi hasil pertanian mengalir ke kantong pemodal.
"Pasar beras dan gabah misalnya, yang tidak adil bagi petani. Harga di tingkat konsumen dan di tingkat produsen bersifat asimetri karena pasar beras/gabah bersifat oligopoli," ujarnya gusar.
Selama ini pun, tambah Hendry, kepercayaan pemerintah kepada perusahaan membuat kemiskinan petani terus terpelihara. Padahal, petani dan buruh kecil adalah tenaga kerja langsung yang terlibat dalam penyediaan kebutuhan pangan.
Dalam hal produksi padi misalnya, menurut SPI, upaya pemerintah menaikkan produksi tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Hal ini tampak pada pendapatan petani padi sekitar Rp3.065-Rp8. 466 per hari per petani yang jauh di bawah pendapatan dalam kriteria kemiskinan menurut Bank Dunia yang dipatok minimal US$2.
Salah satu kebijakan yang jelas tidak berpihak pada petani adalah kebijakan HPP yang hanya mengikuti tren inflasi setiap tahun. "Ini tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani,"tuturnya.
Dalam kebijakan perberasan 2008, dalam analisis SPI, kenaikan 10% untuk gabah kering panen (GKP), 9,2% gabah kering giling (GKG) penggilingan dan 7,2% GKG di petani, tidak mengikuti laju inflasi saat itu sebesar 6,56%.
HPP ini semakin ketinggalan ketika Mei 2008 pemerintah kembali menaikkan BBM sebesar 28,7% yang melonjakkan semua kebutuhan hidup, termasuk petani.
"Akhir 2008, walau harga BBM diturunkan dua kali, tetapi dengan laju inflasi sebesar 11,68% dan harga barang relatif tetap, peningkatan HPP pada Desember 2008 tidak berpengaruh nyata bagi petani," tegas Hendry.
Selain soal beras, keberpihakan pemerintah terhadap investor besar dan melupakan petani adalah perkebunan kelapa sawit.
Henry yang menyebut sawit sebagai gurun hijau yang semakin luas itu hanya dinikmati oleh perusahaan besar ketika harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melambung ke US$1.407 per ton.
Lonjakan harga CPO itu tidak diikuti dengan penyesuaian harga tandan buah segar (TBS) milik petani karena posisi tawarnya yang rendah pada perusahaan. (aprika.hernanda@ bisnis.co. id)
Oleh Aprika R. Hernanda
Wartawan Bisnis Indonesia