Rabu, 20 Agustus 2008

Pendidikan Yang Tak Ber-demokrasi


Pendidikan seharusnya mengajarkan kemanusiaan. Bukan Freire saja yang berbicara seperti itu, tak sedikit tokoh-tokoh pergerakan dan terlibat langsung membenahi masalah pendidikan, mengaskan hal-hal tersebut. Meskipun demikian, 63 tahun paska setelah disebutkan “merdeka”, kondisi sektor pendidikan justru belum bisa dikatakan “merdeka”; masih ada 16 juta rakyat Indonesia (9%) yang buta huruf, angka putus sekolah di SD masih berkisar 4 %, dan rata-rata 4% untuk SMP.

Angka-angka tersebut akan terus berubah seiring dengan berkecamuknya badai “neoliberalisme” di sektor pendidikan, sejak beberapa tahun terakhir. Wajah miris sektor pendidikan akan terus nampak, meskipun SBY-JK sudah memutuskan realisasi anggaran 20% dalam R-APBN 2009 nanti; karena anggaran tersebut tak akan sanggup menutupi “melebarnya” putus sekolah, akibat makin mahalnya biaya pendidikan berhimpitan dengan krisis ekonomi yang menjangkau seluruh kalangan menengah ke bawah masyarakat Indonesia.

Pendidikan Kapitalis dan Masalah Diskriminasi Pendidikan dibawah masyarakat berkelas, dibangun dan diarahkan guna memenuhi kepentingan segelintir orang. Pendidikan dalam masyarakat kapitalis pun demikian. Pendidikan sekedar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar system kapitalisme, tergantung tingkat perkembangannya. Penyesuaian dan pemenuhan akan tujuan yang kapitalistik itu, menjadikan pendidikan bergeser dari tujuan-tujuan humanistiknya, menjadi sekedar memenuhi kepentingan klas kapitalis.

Dari situ, sesungguhnya pendidikan telah melepaskan “kandungan demokratiknya”, dan sebaliknya, memelihara otoritarianisme, individualisme, kepemilikan pribadi, dan akumulasi profit, yang menjadi tujuan-tujuan sesungguhnya kaum kapitalis. Seperti yang diuraikan dengan panjang lebar oleh Bukharin, pendidikan dibawah kapitalisme memiliki tiga prinsip utama; pertama menginspirasikan kepada generasi dimasa depan dari kaum pekerja agar tetap mengungkapkan kesetiaan dan penghargaan kepada rejim kapitalisme.

Kedua menciptakan kaum muda dari kebudayaan klas penguasa yang mengontrol seluruh masyarakat pekerja, ketiga memberikan bantuan teknik dan pengetahuan kepada Industri kapitalis demi kesinambungan akumulasi profit. Pendidikan dalam masyarakat kapitalis benar-benar diskriminatif. Mereka mengintrodusir pendidikan menengah dan atas, dengan biaya cukup mahal, sehingga susah diakses kalangan bawah, terutama klas pekerja, miskin kota, dan petani.

Pendidikan dengan mutu yang baik hanya boleh dinikmati oleh kalangan atas, sedangkan mayoritas “tak bermodal” harus puas menerima mutu pendidikan ala kadarnya. Di jaman kolonial, pemerintah membangun dua sekolah yang berbeda, selain itu memisahkan kaum pribumi miskin dengan orang eropa, juga “berhati-hati” agar pendidikan itu tidak memberi kesadaran sosial kepada anak pribumi. Misalnya, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada” dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk anak-anak rakyat kebanyakan (klas-klas miskin).

Sewaktu Orde Baru berkuasa, perbedaan klas yang mencolok coba dihapuskan dengan menerapkan kewajiban memakai “seragam sekolah”. Tetap saja, cara berpakaian dan jenis kain tidak dapat menutupi keberadaan klas-klas itu. Diskriminasi juga hadir pada masa orba, terutama antara sekolah-sekolah berstatus negeri, swasta, impres, dan sekolah unggulan lain-lain. Sekolah tertentu bisa mermewah-mewah dengan fasilitas, sedangkan banyak sekolah di pedalaman (dan juga dikota) merasakan pendidikan dengan fasilitas buruk; bangunan sekolah yang terancam rubuh, belajar sambil melantai, dan serba minim fasilitas.

Sekarang ini, situasinya jauh lebih ekstrim. Seiring dengan lepasnya tanggung jawab Negara pada sektor pendidikan, sekolah-sekolah dipaksa “bertarung bebas” dalam lingkungan “globalisasi”. Begitu banyak kalangan menengah ke bawah yang susah mengakses pendidikan, di sisi lain, sekolah internasional dengan segudang kemewahan memenuhi hasrat klas kapitalis Indonesia. Sejak dimulai 1999, dengan dikeluarkannya PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus. Pilot projeknya adalah UI, ITB, IPB, dan UGM.

Perlawanan mahasiswa bergejolak ketika itu. Namun situasi ini datang berhimpitan dengan situasi kemunduran total gerakan mahasiswa paska dikalahkan dalam pertempuran melawan sisa-sisa orba (Golkar dan Tentara). Karena itu energi gerakan yang melawan tidak sanggup menahan BHMN ini. Bersamaaan dengan periode ini, secara perlahan-lahan terjadi perubahan komposisi asal klas dari mahasiswa yang menikmati pendidikan diuniversitas.

Kampus negeri yang seharusnya menampung mahasiswa miskin dan berbakat, ketika menaikkan biaya pendidikan (seiring dengan BHMN) mulai susah diakses mahasiswa dari keluarga miskin dan menengah. Dibukanya jalur non-formal (tanpa tes) dengan jalan jual beli bangku, semakin memperbesar dan mempercepat perubahan komposisi dari mahasiswa. Mahasiswa miskin makin susah ditemukan, sedangkan mahasiswa kaya dan keadaan ekonomi yang stabil semakin mendominasi kampus negeri dan swasta.

Pada tahun 1999 (awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik —bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya.

Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Dengan biaya pendidikan yang sebesar itu mustahil bisa diakses oleh mayoritas rakyat Indonesia yang oleh Bank Dunia dikatakan 49,5%nya berpendapatan dibawah 2USD perhari. Itu berarti ada 110 juta rakyat Indonesia yang hanya berpendapatan sekitar 500 ribu -600 ribu per-bulan.

Sanggupkah mereka mengakses bangku Universitas? Diakui, jalur khusus 300 kursi di ITB dengan biaya masuk minimal Rp 45 juta itu banyak diisi anak-anak orang kaya. Menurut data yang akurat; Pada tahun 2004 peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru turun 4 %(336.707 Peserta), dibandingkan dengan tahun 2003 sebanyak 350.306 peserta. Tahun 2005 mengalami penurunan lebih parah sebesar 7,5 % atau sekita 311.000-an (sumber Suara Pelopor, edisi I tanggal 21 Mei Tahun 2006, LMND).

Dalam tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak(77%) adalah mereka yang orang tuanya berpendapatan sekitar 1,5- juta perbulan, sedangkan 20% nya adalah mahasiswa yang orang tunya berpendapatan lebih dari 2 juta keatas. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta. Tingginya biaya tersebut semakin memperkecil akses masuk ke pendidikan tinggi (Kompas, 12,05.08).

Otoritarianisme Pendidikan Kapitalis Karena kasihan pada orangtuanya lantaran gagal diterima di SMP negeri, Septian Catur Wibowo, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Warga RT 14/RW3 Desa Tawangsari, Kecamatan Taman, Kab. Sidoarjo itu ditemukan tewas tergantung di belandar (kayu balok penyanggah atap) rumahnya, Rabu (30/7) sekitar pukul 11.00 WIB. Kejadian itu langsung menggegerkan warga setempat.

Apalagi, Catur, bungsu dari empat bersaudara, dianggap sebagai anak yang peduli pada kesulitan ekonomi orangtuanya, pasangan Purdiono-Mujiatin, yang sehari-hari sebagai petani. Di daerah lain, seorang siswa kelas II IPS SMA Negeri 31 Jakarta Timur, E(16), tidak mendapatkan bangku sekolah sejak pertama masuk sekolah pada 16 Juli 2007 atau awal masuk sekolah sampai sekarang, karena belum membayar uang daftar ulang senilai Rp560 ribu. Selain itu, E juga diancam oleh pihak sekolah tidak bisa mengikuti ujian tahun dan ujian akhir hingga ia menyelesaikan pembayarannya.

Perlakuan-perlakuan itu dianggap wajar dalam system pendidikan kapitalis, tetapi tak dapat dibenarkan oleh logika demokrasi dan kemanusiaan. Pendidikan yang mahal, dan harus ada kompetisi dalam memperolehnya dianggap sebagai hal yang wajar saja oleh masyarakat, dan terkadang harus diterima oleh kesadaran umum. Keyakinan-keyakinan yang dipasokkan oleh kapitalisme ditangkap oleh masyarakat sebagai keyakinan baku. Berikut, beberapa bentuk ketidak-demokratisan system pendidikan borjuis. Pertama, membeda-bedakan manusia berdasarkan kesanggupan-kesanggupan ekonominya.

Semakin tinggi jenjang pendidikan kapitalis, semakin mahal pembiayaannya, semakin susah pula kaum pekerja dan orang miskin mengaksesnya. fakta ini tak dapat dibantah. Angka Partisipasi Murni(APM) SD sama dengan 93% artinya dari 100 penduduk usia 7-12 tahun, 93 orang bersekolah di bangku SD. Partisipasi sekolah penduduk usia 13-15 di SMP (65%) lebih rendah dibanding SD. Untuk SMA lebih rendah lagi, Angka Partisipasinya hanya 48,79 persen saja. Kedua, pendidikan kapitalis tidak mengajarkan ilmu pengetahuan dan penelitiannya guna tujuan-tujuan bersama seluruh masyarakat manusia.

Pendidikan kapitalis memisahkan pengetahuan dari lautan pekerja yang kreatif; penelitian (research) dibuat ekslusif dikalangan intelektual borjuis, dan tak mengijinkan massa pekerja yang berkepentingan akan ilmu itu untuk mengaksesnya. Kemajuan-kemajuan dalam penemuan teknologi sangat jarang berkontribusi terhadap berkurangnya beban penderitaan klas pekerja, tetapi semuanya diserahkan kepada kapitalis, untuk menjadi semacam trik baru dalam akumulasi profit.

Ketiga, pendidikan kapitalis membela dan mempertahankan nilai-nilai agung dari klas berkuasa; memaksakannya diterima dikalangan anak didik (termasuk anak-anak klas pekerja), bahwa kapitalisme sebagai idologi yang niscaya. Karena tujuan-tujuan itu, pendidikan kapitalis melepaskan diri dari keilmiahan dan demokratisme; dan sebaliknya, menjadi pelayan setia bagi kepercayaan masyarakat kapitalis. Karena itu pula, pendidikan kapitalis mempertengkan pendidikan dengan sesuatu yang lain; guru dan murid, realitas (praktek) dan teori, mengacaukan tujuan humanis pendidikan dengan dalih “netralitas ilmu pengetahuan”, dan lain sebagainya.

Sejak awal, pendidikan adalah milik masyarakat, kemajuan, dan masa depan yang lebih baik. Pendidikan, kesenian, kerja produksi, dan sebagainya, seharusnya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan massa pekerja, terlebih lagi, ditangan merekalah perkembangan maju masyarakat diletakkan. Karena pengertian itu, maka pendidikan tak boleh dimonopoli klas tertentu, tetapi harus diakses oleh seluruh manusia secara setara. pendidikan yang sejati, dengan demikian, adalah pendidikan yang ilmiah dan demokratik. Penulis adalah Redaksi Media

BERDIKARI-online, Pengurus DPP Papernas, Peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), pengurus EN-LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia