Kaum buruh Indonesia kembali menunjukkan kekuatannya. Hari ini, 3
Oktober 2012, dua jutaan buruh Indonesia bergabung dalam aksi mogok
kerja nasional. Aksi mogok kerja nasional ini diorganisir oleh Majelis
Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Dalam siaran pers MPBI disebutkan, aksi
mogok kerja ini berlangsung di 21 kota/kabupaten dan 80 kawasan industri
padat di seluruh Indonesia.
Ini mogok kerja terbesar dalam 47 tahun terakhir. Ada 3 tuntutan
pokok yang diusung dalam aksi mogok kerja nasional ini: penghapusan outsourcing,
penolakan terhadap politik upah murah, dan jaminan kesehatan kepada
seluruh rakyat. Tiga tuntutan ini sudah lama disuarakan oleh gerakan
buruh. Sayang, pemerintah tak pernah mendengarkan suara kaum buruh itu.
Pemerintah gembar-gembor tentang ekonomi yang terus tumbuh. Sebentar
lagi, katanya, ekonomi Indonesia akan sejajar dengan Negara-negara maju.
Ya, patokannya adalah angka-angka: angka pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 6,4%; Indonesia saling kejar-kejaran dengan Tiongkok dan India.
Sayang, pertumbuhan ekonomi itu tak menyangkut nasib rakyat. Terutama
sekali kaum buruh sebagai sektor produktif. Upah buruh di Indonesia
terbilang sangat rendah: masih berkisar US$0,6 atau sekitar Rp5.400 per
jam. Sedangkan upah buruh di Thailand berkisar US$1,63/jam, Filipina
US$1,04/jam dan Malaysia US$2,88/jam. Katanya, upah buruh Indonesia
terbilang terendah di ASEAN.
Kondisi ini kian diperparah dengan tidak adanya sanksi tegas terhadap
perusahaan yang membayar buruhnya di bawah Upah Minimum. Catatan
Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) menyebutkan, sepertiga buruh di
Indonesia menerima upah di bawah upah minimum yang sudah ditetapkan.
Kondisi hidup kaum buruh pun memprihatinkan. Yang terjadi: mereka
hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup. Dengan upah yang sangat
rendah, ditambah kenaikan harga barang kebutuhan yang tak terkendali,
mayoritas kaum buruh di Indonesia nyaris menghabiskan gaji/upahnya untuk
sekedar survive—bertahan hidup.
Ini diperparah dengan diberlakukannya sistim outsourcing. Buruh
berhadapan dengan kondisi-kondisi buruk: ketidakpastian kerja (rawan
PHK), menurunnya posisi tawar buruh, penurunan upah, memburuknya kondisi
kerja, tidak mendapat perlindungan sosial, pelemahan serikat buruh, dan
lain-lain. Tak heran jika banyak kaum buruh menyebut praktek
outsourcing ini sebagai bentuk “perbudakan modern”.
Kita tahu, praktek upah murah sangat terkait dengan kepentingan
imperialisme. Bung Karno bilang, satu ciri imperialisme penyediaan
tenaga kerja murah. Di sini, Negara difungsikan sebagai penyedia tenaga
kerja murah bagi perusahaan atau investasi asing. Kalau sekarang,
pemerintah malah menempatkan “upah murah” sebagai keunggulan komparatif
untuk menarik investasi asing.
Di sisi lain, serbuan imperialisme telah mengambrukkan ekonomi
nasional. Banyak industri nasional yang gulung tikar. Maklum, pasar
dalam negeri makin dikuasai produk asing. Ledakan pengangguran terjadi
dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan ekonomi nasional makin bergerak
ke “sektor informal”. Pada titik ini, imperialisme tetap sebagai pihak
yang paling diuntungkan: pengangguran massal telah menjadi ‘kubangan’
bagi hidupnya praktek upah murah dan outsourcing.
Kita tahu, praktek upah murah dan outsourcing bertolak-belakang
dengan kehendak Konstitusi (UUD 1945) kita. Artinya, pemerintah tak
punya alasan untuk mempertahankan praktek tersebut. Kecuali: pemerintah
kita memang sengaja melakukan penghianatan terhadap konstitusi.
Imperialisme meluluh lantakkan ekonomi nasional. Kapitalis alias
pengusaha nasional sebetulnya turut dirugikan dalam situasi ini.
Sayangnya, mereka lebih risau dengan perlawanan kaum buruh ketimbang
terhadap imperialisme yang terang-terang hendak menggiring mereka ke
kuburan yang bernama “kebangkrutan’. Mereka bahkan menjadi pengamal
setia kebijakan politik upah murah dan outsourcing itu.
Sebetulnya, Negara ini sudah punya politik perekonomian. Itulah pasal
33 UUD 1945. Politik perekonomian itu dihasilkan revolusi nasional di
tahun 1945. Politik perekonomian kita itu menghendaki demokrasi ekonomi,
dalam hal ini: pemilikan produksi di tangan rakyat dan pengelolaannya
dilakukan secara bersama di bawah panji-panji azas kekeluargaan. Politik
perekonomian itu juga menghendaki “kemakmuran rakyat” sebagai cita-cita
tertinggi penyelenggaraan ekonomi nasional.
Kaum buruh tak perlu menderita seandainya pasal 33 UUD 1945
ditegakkan. Sayang, sejak orde baru sampai sekarang, pasal 33 UUD 1945
tidak pernah dilaksanakan. Bahkan, pemerintah sengaja mengubur pasal 33
UUD 1945 ini.
Tak bisa dipungkiri, aksi mogok nasional kaum buruh ini sudah menohok
kepentingan imperialisme. Mereka telah memperhebat perjuangan
anti-imperialisme yang makin bergemuruh di seantero negeri.
Sabtu, 06 Oktober 2012
Mogok Kerja Nasional Kaum Buruh
Author: DPN - SRMI
| Posted at: Sabtu, Oktober 06, 2012 |
Filed Under:
News
|