Pilkada Dan Penyakit Provinsialisme
Pilkada
bukan sekedar kontestasi politik. Pilkada juga harusnya menjadi ajang
untuk memajukan kualitas demokrasi. Lebih jauh lagi, Pilkada seharusnya
memperkuat system politik dan kebangsaan kita.
Sayang,
proses Pilkada belum bisa diharapkan untuk tujuan itu. Pilkada DKI
Jakarta, yang seharusnya menjadi barometer politik nasional, makin hari
makin mengarah pada kontestasi politik yang tidak sehat. Hari-hari
menjelang Pilkada DKI putaran kedua makin disesaki oleh kampanye
negatif.
Tak
jarang kampanye negatif itu mengancam konsep kebangsaan kita. Salah
satu bentuk ancaman itu adalah provinsialisme. Lihat saja, ada kandidat
yang memaksa warga DKI Jakarta harus memilih kandidat etnis Betawi. Bagi
mereka, DKI Jakarta—yang identik sebagai kampung orang Betawi—harus
dipimpin oleh orang Betawi.
Akhirnya
muncul kesan “Jakarta milik orang Betawi”. Lebih parah lagi, orang dari
luar Jakarta dianggap tidak berhak untuk memimpin Jakarta. Ada juga
pendapat begini: hanya orang Jakarta yang bisa faham soal Jakarta. Orang
dari luar Jakarta dianggap kurang faham persoalan Jakarta.
Jakarta
sedang menjadi kancah pertarungan politik. Kekuatan status-quo, yang
disokong oleh rezim berkuasa di nasional, berusaha memainkan politik
provinsialisme guna mempertahankan kekuasaannya. Mereka tidak
menghendaki Jakarta jatuh ke tangan kekuatan politik baru, Jokowi-Ahok,
yang kampanye politiknya meniupkan harapan baru melalui slogan “Jakarta
Baru”.
Akan
tetapi, politik provinsialisme itu sangat berbahaya. Para pendiri
bangsa, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, menganggap provinsialisme
menjadi senjata kolonialisme untuk memecah-belah bangsa kita. Bagi para
pendiri bangsa itu, provinsialisme akan menjadi batu-penghalang bagi
cita-cita kebangsaan kita.
Kebangsaan
Indonesia itu tersusun dari 300-an suku bangsa yang mendiami 5 pulau
besar dan puluhan ribu kecil yang dulu disebut “nusantara” ini.
Kebangsaan Indonesia ini juga menghimpun ratusan juta rakyat dengan
beragam agama dan aliran kepercayaan. Nah, kata Bung Karno, berbagai
suku bangsa itu dipersatukan oleh kehendak bersatu (le desir d’etre
ensemble) dan juga karena adanya kesamaan perangai akibat kesamaan
nasib. Disamping itu, karena ratusan suku bangsa itu hidup dan menempati
satu wilayah (tanah-air) yang nyata-nyata satu unit atau satu kesatuan.
Seorang
manusia Indonesia tulen, kata Bung Hatta, haruslah tidak merasa takut
kemanapun kakinya melangkah di bumi Indonesia. Sebaliknya, seorang
Indonesia tulen tak perlu curiga atau menutup diri terhadap kehadiran
manusia-manusia Indonesia lain yang mungkin berbeda suku, agama,
keyakinan politik, dan lain-lain.
Jadinya,
manusia Indonesia ini tidak boleh terhalang kakinya untuk melangkah
kemanapun di wilayah Negara Indonesia ini. Juga, manusia Indonesia itu,
apapun suku-bangsa dan agamanya, berhak mendiami atau menempati tanah
manapun di wilayah Indonesia ini. Manusia Indonesia tulen mestinya tidak
mengenal pendikotomian “pribumi” dan “pendatang”.
Dalam
soal kepemimpinan, misalnya, siapapun–tanpa memandang asal-usul daerah,
suku-bangsa, dan agama—berhak menjadi pemimpin di daerah manapun di
Indonesia sepanjang mendapat mandat rakyat di daerah tersebut. Kita
harus berpandangan, bekerja di manapun di wilayah Republik Indonesia
sama saja dengan bekerja untuk kemajuan bangsa.
Jakarta,
yang nota-bene Ibukota Republik, harus dianggap tanggung-jawab seluruh
bangsa Indonesia untuk memajukannya. Semua putra-putri Indonesia, tanpa
mempersoalkan asal-usul daerah, suku, dan agamanya, harus terpanggil
untuk membangun Jakarta.
Karena
itu, Pilkada DKI Jakarta mestinya menjadi mekanisme demokratis untuk
memilih putra-putri Indonesia terbaik untuk memajukan Jakarta. Jadinya,
supaya pemilih dapat menentukan pilihan yang tepat, maka proses Pilkada
mestinya menjadi arena pertarungan program politik. Para pemilih harus
diberi informasi seluas-luasnya untuk mengetahui program masing-masing
calon dan track-recordnya (bebas dari korupsi, tidak terlibat
pelanggaran hak sosial-ekonomi-politik rakyat, dan lain-lain).
Jumat, 14 September 2012
Pilkada Dan Penyakit Provinsialisme
Author: DPN - SRMI
| Posted at: Jumat, September 14, 2012 |
Filed Under:
News
|