Oleh: Rudi Hartono
Sejak tahun 2007, sebuah program penanggulangan kemiskinan diluncurkan oleh pemerintahan SBY-JK untuk mengatasi problem kemiskinan, yang seolah tak ada jalan keluarnya di negeri ini. Program tersebut diberinama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Menurut versi resminya, melaui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. (http://www.pnpm-mandiri.org)
Tidak tanggung-tanggung, promosi dari atas untuk mensukseskan kegiatan ini berlansung sangat gencar, dan melalui seluruh saluran informasi; iklan di media cetak, TV, poster, dan sosialisasi apparatus pemerintahan. Akan tetapi, sebuah pertanyaan krusial tetap muncul; apakah pemerintah benar-benar serius mau memberantas kemiskinan? Dan apakah PNPM Mandiri akan efektif mengambil peran tersebut.
Kemiskinan dan Neoliberalisme
Tanpa terduga, beberapa hari sebelumnya, saya sempat berdiskusi dengan seseorang yang bekerja di projek Bank Dunia. Dari penjelasannya, saya mencium kepentingan Bank Dunia untuk tetap mempertahankan projek neoliberal di negera-negara berkembang, sembari menciptakan sebuah perangkap yang bisa menetralisir kemungkinan protes sosial akibat ekses yang ditimbulkan oleh neoliberal. Dan tidak tanggung-tanggung, mekanisme yang dipergunakan oleh Bank Dunia adalah metode-metode pembangunan yang pernah diprakarsai oleh gerakan kiri, gerakan sosial, atapun komunitas akar rumput dalam sejumlah eksprimen di Amerika Latin, terutama Budget Partisipatif di Porto Allegre, dan Misi-misi sosial yang kini mantap dilaksanakan di Venezuela.
Di Indonesia, projek neoliberal telah benar-benar memakan banyak korban. Bukan saja klas pekerja, petani, dan miskin kota yang banyak menjadi korbannya, tapi sector kapitalis nasional pun kini kehabisan akal “menutupi kerugian”, akibat neoliberalisme. Tak salah, kalau kemudian projek neoliberal mendapat “resistensi” hebat dari berbagai sector sosial.
Bersamaan dengan proses “pendalaman” neoliberal, yang akhirnya melahirkan kerusakan luar biasa, pemerintahan SBY-JK mencoba membangun retorika “pemberantasan kemiskinan”. Program PNPM Mandiri salah satunya. Program ini berjalan pararel dengan “perluasan” projek neoliberal, padahal keduanya punya tujuan berbeda. Neoliberalisme mendongkrak kemiskinan luar biasa, lewat sejumlah kebijakannya seperti kenaikan harga BBM, privatisasi, upah murah, system kontrak dan outsourcing, dan liberalisasi perdagangan, sedangkan proyek PNPM Mandiri “diciptakan” untuk tujuan sebaliknya. Masalahnya, kerusakan yang ditimbulkan oleh neoliberal tak akan dapat dihapus dengan sebuah proyek berdimensi kecil. Tidak mungkin Tzunami dapat dipersamakan dengan riak kecil.
Letak Kesalahahnnya
Meskipun PNPM Mandiri punya konsep ideal, tapi kenyataannya itu susah terwujud. Ada beberapa persoalan mendasar yang tak sanggup dijawab oleh PNPM Mandiri; pertama, cakupan PNPM Mandiri untuk menutupi kemiskinan tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh neoliberal. Belum lagi, nilai dana yang berjumlah Rp24,847 miliar tentu tak sanggup memberdayakan rakyat miskin yang sudah mencakup separuh lebih dari populasi. Kedua, Partisipasi warga masyarakat juga nihil, karena kenyataannya rakyat masih diisolasi dari kehidupan politik. Belum lagi, tidak ada institusi politik real yang mencerminkan partisipasi nyata rakyat dalam merumuskan kebijakan. Kebebasan berorganisasi, berpolitik, mengeluarkan pendapat masih memiliki standar ganda; organisasi yang disahkan hanya yang mendukung kepentingan pemerintah, sedangkan organisasi kritis, radikal, terkadang dilarang dengan berbagai alas an. Ketiga, apparatus pemerintah sebagai kekuatan politik yang meski memfasilitas rakyat, untuk berdiskusi, merumuskan kebijakan pembangunan, dan memutuskan proyek mendesak, juga tak dapat diharapkan. Selama ini, aparatus pemerintah merupakan entitas terpisah dengan rakyat. Dalam banyak kasus, pemerintah local maupun pusat selalu berhadapan secara diametral dengan kepentingan rakyat. Keempat, dengan mekanisme berbelit-belit, persoalan birokratisme, alih-alih rakyat mendapatkan kemudahan dalam akses modal usaha, malahan proyek ini membuka ruang bagi korupsi besar-besaran, dari aparatus pemerintahan pusat hingga daerah.
Seharusnya, jika pemerintah hendak mengentaskan kemiskinan, maka yang terpenting adalah menghentikan proyek neoliberalisme. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan cara untuk memobilisasi sumber daya (Anggaran dan SDM), mengembalikan kedaulatan politik kepada rakyat, sebagai infrastruktur utama kesuksesan program ini. Tanpa itu, PNPM Mandiri hanya akan menjadi “sogokan” agar rakyat diam, sama halnya dengan program sebelumnya; BLT, Raskin, Askeskin, dan sebagainya.
Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI, peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial, Anggota Papernas.
Tidak tanggung-tanggung, promosi dari atas untuk mensukseskan kegiatan ini berlansung sangat gencar, dan melalui seluruh saluran informasi; iklan di media cetak, TV, poster, dan sosialisasi apparatus pemerintahan. Akan tetapi, sebuah pertanyaan krusial tetap muncul; apakah pemerintah benar-benar serius mau memberantas kemiskinan? Dan apakah PNPM Mandiri akan efektif mengambil peran tersebut.
Kemiskinan dan Neoliberalisme
Tanpa terduga, beberapa hari sebelumnya, saya sempat berdiskusi dengan seseorang yang bekerja di projek Bank Dunia. Dari penjelasannya, saya mencium kepentingan Bank Dunia untuk tetap mempertahankan projek neoliberal di negera-negara berkembang, sembari menciptakan sebuah perangkap yang bisa menetralisir kemungkinan protes sosial akibat ekses yang ditimbulkan oleh neoliberal. Dan tidak tanggung-tanggung, mekanisme yang dipergunakan oleh Bank Dunia adalah metode-metode pembangunan yang pernah diprakarsai oleh gerakan kiri, gerakan sosial, atapun komunitas akar rumput dalam sejumlah eksprimen di Amerika Latin, terutama Budget Partisipatif di Porto Allegre, dan Misi-misi sosial yang kini mantap dilaksanakan di Venezuela.
Di Indonesia, projek neoliberal telah benar-benar memakan banyak korban. Bukan saja klas pekerja, petani, dan miskin kota yang banyak menjadi korbannya, tapi sector kapitalis nasional pun kini kehabisan akal “menutupi kerugian”, akibat neoliberalisme. Tak salah, kalau kemudian projek neoliberal mendapat “resistensi” hebat dari berbagai sector sosial.
Bersamaan dengan proses “pendalaman” neoliberal, yang akhirnya melahirkan kerusakan luar biasa, pemerintahan SBY-JK mencoba membangun retorika “pemberantasan kemiskinan”. Program PNPM Mandiri salah satunya. Program ini berjalan pararel dengan “perluasan” projek neoliberal, padahal keduanya punya tujuan berbeda. Neoliberalisme mendongkrak kemiskinan luar biasa, lewat sejumlah kebijakannya seperti kenaikan harga BBM, privatisasi, upah murah, system kontrak dan outsourcing, dan liberalisasi perdagangan, sedangkan proyek PNPM Mandiri “diciptakan” untuk tujuan sebaliknya. Masalahnya, kerusakan yang ditimbulkan oleh neoliberal tak akan dapat dihapus dengan sebuah proyek berdimensi kecil. Tidak mungkin Tzunami dapat dipersamakan dengan riak kecil.
Letak Kesalahahnnya
Meskipun PNPM Mandiri punya konsep ideal, tapi kenyataannya itu susah terwujud. Ada beberapa persoalan mendasar yang tak sanggup dijawab oleh PNPM Mandiri; pertama, cakupan PNPM Mandiri untuk menutupi kemiskinan tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh neoliberal. Belum lagi, nilai dana yang berjumlah Rp24,847 miliar tentu tak sanggup memberdayakan rakyat miskin yang sudah mencakup separuh lebih dari populasi. Kedua, Partisipasi warga masyarakat juga nihil, karena kenyataannya rakyat masih diisolasi dari kehidupan politik. Belum lagi, tidak ada institusi politik real yang mencerminkan partisipasi nyata rakyat dalam merumuskan kebijakan. Kebebasan berorganisasi, berpolitik, mengeluarkan pendapat masih memiliki standar ganda; organisasi yang disahkan hanya yang mendukung kepentingan pemerintah, sedangkan organisasi kritis, radikal, terkadang dilarang dengan berbagai alas an. Ketiga, apparatus pemerintah sebagai kekuatan politik yang meski memfasilitas rakyat, untuk berdiskusi, merumuskan kebijakan pembangunan, dan memutuskan proyek mendesak, juga tak dapat diharapkan. Selama ini, aparatus pemerintah merupakan entitas terpisah dengan rakyat. Dalam banyak kasus, pemerintah local maupun pusat selalu berhadapan secara diametral dengan kepentingan rakyat. Keempat, dengan mekanisme berbelit-belit, persoalan birokratisme, alih-alih rakyat mendapatkan kemudahan dalam akses modal usaha, malahan proyek ini membuka ruang bagi korupsi besar-besaran, dari aparatus pemerintahan pusat hingga daerah.
Seharusnya, jika pemerintah hendak mengentaskan kemiskinan, maka yang terpenting adalah menghentikan proyek neoliberalisme. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan cara untuk memobilisasi sumber daya (Anggaran dan SDM), mengembalikan kedaulatan politik kepada rakyat, sebagai infrastruktur utama kesuksesan program ini. Tanpa itu, PNPM Mandiri hanya akan menjadi “sogokan” agar rakyat diam, sama halnya dengan program sebelumnya; BLT, Raskin, Askeskin, dan sebagainya.
Penulis adalah Pengelolah Jurnal Arah-KIRI, peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial, Anggota Papernas.