Selasa, 01 Desember 2009

Signifikansi Hari Sumpah Pemuda

Rudi Hartono*)

HARI sumpah pemuda diperingati cukup meriah tahun ini. Untuk tahun ini, pusat perayaan hari bersejarah ini akan dipusatkan di Propinsi Banten, dimana 6000 pemuda-pemudi dari berbagai wilayah Indonesia akan hadir di tempat ini, dan upacaranya dipimpin langsung oleh wakil presiden, Budiono.
 
Sementara itu, dalam bentuk perayaan lain, sejumlah kaum muda, mahasiswa, dan kalangan progressif akan merayakan hari bersejarah ini melalui aksi massa, rally, dan pementasan-pementasan “gugatan” kepada pemerintah.

Sementara itu, diluar kedua perhelatan itu, ada banyak kaum muda Indonesia tidak merasa terikat sama sekali dengan momen histories ini. Mereka mencoba memaknai dirinya dengan sebuah kebudayaan baru; konsumtifisme dan hedonisme.

Dua Perayaan Sumpah Pemuda

Perayaan sumpah pemuda tahun ini merupakan tahun ke 80 dari sebuah deklarasi sebuah cita-cita politik; Indonesia menjadi bangsa merdeka dan berdaulat. Ada lebih dari 300 kelompok etnis di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari 250 bahasa daerah yang berbeda-beda di kepulauan ini. Sehingga, seharusnya, sumpah pemuda dipahami sebagai pernyataan politik untuk bersatu secara sukarela dari ratusan etnis, bahasa, dan kebudayaan di kepulauan nusantara ini.

Dari deklarasi untuk mencapai cita-cita politik ini, ada dua kelompok yang mencoba memaknai; pertama, kelompok yang menganggap “hari sumpah pemuda” sekedar peringatan terhadap peristiwa “heroik” di masa lampau, dan generasi masa kini cukup mengenang peristiwa besar itu. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa sumpah pemuda hanya titik awal dari pernyataan sebuah cita-cita politik, dari sebuah proses panjang membentuk sebuah kenyataan politik; Indonesia yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

Bagi kelompok pertama, pernyataan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah menjadi perwujudan kenyataan politik dari Indonesia merdeka dan berdaulat, sekaligus sebuah pernyataan formal untuk mendapat pengakuan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan begitu, menurut mereka, deklarasi “sumpah pemuda” sudah mencapai cita-cita politiknya pada proklamasi kemerdekaan itu.

Sementara, bagi kelompok kedua, cita-cita politik mengenai Indonesia merdeka dan berdaulat, hanya merupakan ungkapan politik dari sebuah cita-cita kolektif mengenai keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Sehingga, bagi mereka, perjuangan mewujudkan cita-cita politik ini merupakan sebuah lintasan panjang dari dinamika perjuangan rakyat Indonesia. Dalam konteks itu, proklamasi bukanlah akhir dari perjuangan mencapai cita-cita politik, sebab kemerdekaan formal ini ternyata belum mendekatkan seluruh rakyat pada cita-cita politiknya; kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Akhirnya, kelompok pertama memandang sumpah pemuda sekedar sebagai sebuah ritual tahunan, sekedar upacara peringatan terhadap sebuah peristiwa, sementara kelompok kedua menjadikan sumpah pemuda sebagai gugatan, perlawanan.

Tantangan Masa Kini

Sebuah cita-cita politik yang luhur, yang sempat digemakan oleh pemuda-pemuda Indonesia dari berbagai daerah pada 28 oktober 1928, tidak bisa disubtitusi dengan ungkapan sebuah pernyataan formal Indonesia merdeka; punya bendera, punya pemerintahan, punya nama “Indonesia”.

Akan tetapi, lebih dari itu, cita-cita politik ini mensyaratkan sebuah perubahan struktural dari kolonialisme menuju ke sebuah tatanan masyarakat baru; berkeadilan sosial, sejahtera, dan makmur.

Saat ini, bangsa Indonesia sedang terjatuh ke dalam “lumpur” yang sama dengan kolonialisme pada tahun 1920-an, saat para pemuda itu mendeklarasikan sebuah cita-cita politiknya, yaitu lumpur neo-kolonialisme. Situasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dihadapi oleh kaum muda sekarang ini, sebetulnya tidak berbeda jauh dengan praktik kolononialisme di masa lalu.

Di bidang ekonomi, misalnya, proporsi terbesar dari keuntungan pengelolaan sumber daya alam kita masih dinikmati oleh bangsa asing, sementara pengelolaan ekonomi sepenuhnya didominasi oleh modal asing.

Saat ini, posisi perekonomian Indonesia belum bergeser dari posisi Negara jajahan; sebagai pengespor bahan mentah, tempat penanaman modal asing (investasi), penyedia tenaga kerja murah, dan menjadi pasar bagi produk negeri-negeri imperialis.

Bayangkan, Indonesia yang mempunyai hamparan sawah paling luas di dunia, justru menjadi salah satu Negara pengimpor beras terbesar di dunia. Begitu pula dengan kebutuhan gula, tiap tahunnya kita mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, padahal kita pernah menjadi eksportir gula semenjak jaman kolonial dulu.

Terakhir, yang sungguh memalukan sebagai bangsa maritim, bangsa Indonesia juga harus masuk daftar pengimpor garam terbesar di dunia, dimana 50% kebutuhan garam nasional diperoleh dari impor. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.

Padahal, seluruh syarat-syarat kemajuan sudah dimiliki bangsa ini; Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.

Di bidang sosial dan budaya, penetrasi kebudayaan asing juga berlangsung begitu gencar, sehingga menjebol tanggul-tanggul kebudayaan nasional dan lokal kita. Gotong-royong, persaudaraan, saling hormat-menghormati kini sudah dibuang dari kamus anak muda kita, kemudian digantikan dengan kebudayaan penjajah; konsutifisme, individualisme, dan liberalisme.

Dalam pergaualan internasional, bangsa Indonesia juga belum menempati posisi yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Seringkali martabat kita sebagai sebuah bangsa diinjak-injak oleh bangsa-bangsa lain, khususnya Negara-negara imperialis. Kita bisa menyaksikan bagaimana nasib para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diperlakukan tidak manusiawi di luar negeri, sebab pemerintah kita tidak punya kuasa untuk melakukan tekanan dan negosiasi.

Kita masih berada di bawah kekuasaan neo-kolonial. Sehingga, api sumpah pemuda yang sudah bergema 80 tahun yang lalu, harus dikobarkan kembali untuk membakar ranting-ranting neo-kolonialisme. Mari kita mengabarkan kepada pemuda-pemuda Indonesia dari sabang sampai merauke, bahwa perjuangan menuju cita-cita politik kita masih akan terus berlanjut. Mari, kita “hentikan” neo-kolonialisme!

*) Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pimpinan redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia