Selasa, 01 Desember 2009

Partai Buruh Brazil : Aneka Ragam Strategi Kiri Amerika Latin

Oleh: Valter Pomar, sekretaris hubungan internasional Partai Pekerja (PT) Brasil.

Kini menjadi biasa untuk mengatakan bahwa terdapat dua kekuatan kiri di Amerika latin: yang satu 'karnivora', yang lainnya 'vegetarian'; yang satu radikal, lainnya moderat; yang satu revolusioner, lainnya reformis; yang satu sosialis, lainnya kapitalis.

Dikotomi definisi semacam ini dibuat oleh para juru bicara (resmi atau tak-resmi) Departemen Negara AS, dengan tujuan eksplisit menciptakan pertentangan di antara kaum kiri Amerika Latin, sehingga mereka saling menyerang sesama, bukannya musuh bersama.

Untuk pastinya, tidak ada upaya maupun motif untuk menyangkal terdapatnya perbedaan programatis, strategis, taktis, organisasi, historis dan sosiologis di antara kaum kiri Amerika Latin. Kita akan membicarakan perbedaan-perbedaan ini di bawah. Namun interpretasi yang dikotomis terhadap perbedaan yang ada tidak sekedar mendukung kepentingan kaum kanan, tapi juga mengekspresikan interpretasi teoretis yang salah.

Reduksionisme ini (yang menyatakan terdapat dua kiri di Amerika Latin) membantu kaum kanan secara politik karena itu mengandung kesimpulan implisit berikut: pertumbuhan kekuatan kiri yang satu bergantung pada pelemahan yang lainnya, dalam satu persamaan yang dengan leluasa menghapus musuh bersama kita dari gambaran itu. Reduksionisme, lebih dari itu, merupakan interpretasi teoretik yang salah karena ia tidak mampu menjelaskan fenomena historis selama 11 tahun (1998-2009) terakhir, yakni: pertumbuhan simultan beragam kekuatan kiri Amerika Latin.

Bertentangan dengan para pengikut pandangan reduksionis dalam segala bentuknya, kami menekankan bahwa penguatan pengalaman di antara berbagai aliran kekuatan kiri Amerika Latin sebagian disebabkan oleh keaneka-ragamannya, yang telah memungkinkannya mengekspresikan keaneka-ragaman sosiologis, budaya, historis dan politik dari kelas-kelas terdominasi di benua kita. Kalau ia homogen dan seragam, kalau ia hanya satu atau dua, kekuatannya tak akan seperti saat ini.

Kami juga menekankan bahwa kelanjutan penguatan kiri Amerika Latin akan bergantung, dalam batas yang luas, pada kerjasama antara beragam aliran-aliran yang ada. Kerjasama semacam itu tidak menutup pertarungan ideologis dan politik antara kaum kiri yang beragam; namun pertarungan ini harus berlangsung dalam kerangka kerjasama strategis maksimum.

Semakin tak utuh pemahaman kita tentang proses yang sedang kita jalani, maka kerjasama semacam itu akan menjadi lebih sulit.

Basis politik-material yang memungkinkan kerjasama antara sebagian besar aneka ragam aliran kiri Amerika Latin adalah adanya situasi strategis bersama. Aliran ultra-radikal atau hiper-moderat yang menolak mengakui keberadaan suatu situasi strategis bersama adalah juga mereka yang berjasa, secara sadar maupun tak-sadar, bagi kelas-kelas dominan lokal atau kepada imperialisme.

Perdebatan tentang sifat revolusi Amerika Latin

Wilayah yang kini kita kenal sebagai Amerika Latin berkontribusi pada apa yang disebut dengan "akumulasi primitif" (1) dan sejak saat itu sepenuhnya terintegrasikan dalam kapitalisme sedunia. Dari perdebatan tentang sifat integrasi ini muncullah beragam posisi tentang sifat perkembangan yang terjadi di tiap negeri dan di wilayah ini secara keseluruhan, dan tentang kemungkinan-kemungkinan perjuangan reformis dan revolusioner, tentang "kapitalisme demokratis" dan sosialisme.

Perlawanan nasional terhadap invasi dan eksploitasi negeri-negeri Eropa, maupun perlawanan kaum produsen langsung terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh kelas-kelas dominan lokal dan asing, telah mengambil berbagai bentuk sejak 1492.

Pada abad 20 - dalam lingkungan yang dikarakterkan oleh peningkatan industrialisasi, imperialisme, perang dunia, Revolusi Rusia, revolusi-revolusi dan perang-perang anti-kolonial - perjuangan kerakyatan Amerika Latin telah dengan berbagai cara mengombinasikan tuntutan-tuntutan demokrasi politik, kedaulatan nasional dan reformasi tanah dengan tujuan-tujuan anti-kapitalis dan sosialis.

Hingga tahun 1950an, kombinasi yang ada menekankan tuntutan demokratik-nasional: mengalahkan imperialisme dan latifundia yang bagi beberapa pihak merupakan "sisa-sisa feodal", industrialisasi ekonomi, demokratisasi negara dan menegakkan kedaulatan nasional. Orientasi demokratis-nasional ini dianut oleh kebanyakan sosialis, termasuk partai-partai komunis yang muncul pada tahun 1920an.

Dalam varian Marxis diistilahkan sebagai "tahapanisme" (pertama revolusi borjuis, selanjutnya revolusi sosialis), orientasi demokratis-nasional dikritik, bahkan oleh kaum kiri, karena tiga alasan utama: a) karena meremehkan hubungan organik antara latifundia, imperialisme dan kapitalisme; b) karena meyakini kemungkinan aliansi strategis proletariat dengan "borjuasi nasional"; c) karena memandang "tahapan-tahapan" secara relatif terpisah-pisah, padahal seharusnya dipandang sebagai "mengalir", sebagai "trans-perkembangan".

Formulasi tahapanisme maupun pembelaannya yang paling konsisten di hadapan para pengritiknya, dilakukan oleh partai-partai komunis. Di sini tidak perlu mengulangi detil-detil seputar perdebatan tersebut, namun dua hal harus ditekankan.

Pertama, mereka benar ketika mengatakan bahwa "rintangan-rintangan" terhadap perkembangan kapitalis di Amerika Latin perlu diletakkan ke dalam perspektif. "Imperialisme" dan "latifundia", ketergantungan pada pasar domestik yang terbatas, itu semua dicerna dan diserap dalam metabolisme perkembangan kapitalis yang ada. Dengan begitu, menggunakan rintangan-rintangan ini sebagai dasar dalam mendeduksikan kemungkinan suatu aliansi revolusioner (anti-imperialis, anti-latifundia) antara borjuasi "nasional" dan proletariat adalah mentransformasikan kontradiksi sekunder (kontradiksi yang sesungguhnya ada, yang mendorong fraksi-fraksi borjuasi untuk mengadopsi sikap yang lebih radikal) menjadi kontradiksi utama. Ini, kemudian, menggiring kita pada kesalahan berupa mengambil dari kontradiksi (mestinya yang utama) ini, konsekuensi-konsekuensi (memandang proletariat sebagai kekuatan kiri dalam revolusi demokratik-borjuis) yang basis materialnya tak memadai.

Kedua, mereka juga benar ketika mengatakan bahwa perjuangan sosialisme di Amerika Latin tidak dapat mengurangi apa yang disebut "tugas-tugas mendesak" revolusi borjuis-demokratik. Tema-tema seperti kedaulatan nasional, industrialisasi, demokratisasi politik, reformasi tanah dan kebijakan-kebijakan kesejahteraan hingga kini masih menjadi bahan baku dari semua dan setiap perjuangan politik yang diterapkan oleh kaum sosialis di Amerika Latin. Bahwa faktanya kaum borjuasi tidak siap memimpin dalam memperjuangkan klaim-klaim tersebut tidak lantas menghapus mereka dari horizon politik; bahwa faktanya kaum proletariat dituntut untuk menjadi pelopor dalam klaim-klaim tersebut tidak lantas menghilangkan karakter demokratik-borjuisnya.

Perdebatan teoretik yang digambarkan di atas hanya dapat menemukan solusi utuhnya dalam medan praktek, yakni: perjuangan untuk klaim-klaim demokratik-borjuis dapat memenuuhi salah satu peran strategis, tergantung pada korelasi kekuatan di tingkat nasional, hemisfer dan dunia. Bila proletariat memiliki kekuatan dan keradikalan yang cukup, perjuangan klaim-klaim demokratis-nasional dapat mengalami "trans-perkembangan" menuju transformasi yang bersifat sosialis. Sebaliknya, bila kaum proletariat lemah dan kurang berperan, perjuangan "revolusi demokratik" tidak akan menjadi demokratik atau revolusioner, ia juga tidak akan mengakumulasi kekuatan menuju sosialisme.

Diskusi tentang sifat revolusi Amerika Latin (sosialis, demokratik, dsb.) selalu simultan dengan perdebatan tentang pilihan jalan revolusioner: kekerasan atau damai, gerilya atau insureksi, dsb. Lagi-lagi, berbagai kombinasi telah dilakukan: dari kaum "tahapanis" yang memilih bentuk-bentuk kekerasan radikal hingga kaum sosialis yang memiliki komitmen terkuat terhadap "transisi damai".

Beragam varian "tahapanisme" dan "reformisme" menghadapi pertanyaan serius dengan kemenangan Revolusi Kuba pada 1959. Bagi beberapa sektor kiri, diskusi strategis (tentang sifat revolusi dan jalannya) tampak diatur untuk berpihak pada "model" tertentu. Meskipun faktanya Revolusi Kuba dan "model-model" yang diformulasikan setelahnya merupakan hal yang berbeda. Perbedaan serupa terjadi pada kasus Rusia 1917 dan kasus Tiongkok 1949: model-modelnya disederhanakan dan berulang kali sangat bertentangan dengan strategi yang sesungguhnya diterapkan.

Observasi terhadap strategi dan transisi sosialis.

Terdapat begitu banyak kebingungan mengenai istilah "kapitalisme", "transisi" dan "komunisme" sehingga arti dari kata-kata tersebut dalam teks ini harus dijelaskan. Kami memahami kapitalisme sebagai corak produksi yang berdasarkan pada kepemilikan swasta terhadap alat-alat produksi, corak produksi di mana produsen langsung diharuskan menjual tenaga kerjanya kepada kaum kapitalis, yang mengambil alih "nilai surplus" kaum upahan untuk keuntungan mereka; kami menentang kapitalisme dengan mengajukan corak produksi lain, yang dibangun atas kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan yang mana untuk ini perlu digunakan kategori-kategori komunisme (yakni corak produksi yang lain tersebut) dan sosialisme (periode transisi antara corak produksi yang satu menuju corak produksi yang lain tersebut).

Karena alasan historis yang telah diketahui, istilah "komunisme" ditolak atau sekedar dikesampingkan oleh banyak sektor-sektor kiri, termasuk beberapa yang memproklamirkan dirinya sebagai kaum revolusioner. Namun dari sudut pandang teoretis, penggunakan istilah tersebut masih perlu, karena ia memungkinkan pembedaan antara mana yang "transisi" dan mana yang "tujuan akhir" (yakni bentuk matang dari masyarakat yang hendak dibangun).

Ketika kami bicara sosialisme, kami bicara tentang transisi antara kapitalisme dan komunisme. Maka, transisi sosialis (atau sosialisme) adalah secara definisi suatu formasi sosial yang mengombinasikan kapitalisme dan anti-kapitalisme. Yang mendefinisikan apakah kita berada di depan formasi sosialis adalah keberadaan suatu gerakan struktural, organik yang menuju pada kepemilikan sosial (dengan semua hasil politik dan sosial yang kompleks). Dengan kata lain, yang mendefinisikan apakah kita berada di depan transisi sosialis adalah keberadaan suatu gerakan menuju sosialisasi terhadap produksi, terhadap kepemilikan dan terhadap kekuasaan politik.

Definisi sosialisme ini sebagai gerakan menuju mengandung setidaknya dua hal yang berpotensial menyebabkan kesalahpahaman. Yang pertama adalah mereka yang memandang transisi sebagai suatu proses linear dari akumulasi progresif (menganggap setiap langkah mundur sebagai pertanda kembali ke kapitalisme) sebagai alasan untuk meyakini bahwa transisi menuju sosialisme telah terinterupsi. Yang kedua adalah kesalahan dalam mencampuradukkan: a) perjuangan yang kita lancarkan dalam kapitalisme, untuk keuntungan sosialisme, dengan; b) pembangunan atau transisi sosialis.

Menurut pendapat kami, variabel kunci untuk mengeliminasi kesalahan konsepsi ini adalah mengetahui siapa yang memegang kekuasaan politik. Yakni, perbedaan antara melangkah mundur dan maju membabi buta; antara konsesi dan kapitulasi; antara "perbaikanisme" dan perjuangan untuk reformasi.

Contohnya, perbedaan antara perjuangan untuk sosialisme dan transisi sosialis bisa jadi tidak terletak pada langkah-langkah yang diambil, namun harus ada pada politik, korelasi kekuatan, kekuasaan negara. Ini demikian karena batasan-batasan yang disebabkan faktor material dapat mengharuskan suatu pemerintahan revolusioner untuk mengadopsi langkah pro-kapitalis. Namun langkah-langkah ini mengambil makna strategis yang berbeda ketika diadopsi oleh pemerintahan borjuis atau pemerintahan sosialis.
Untuk mentransformasi perjuangan untuk sosialisme menjadi transisi sosialis yang sesungguhnya, untuk memulai pembangunan sosialisme, kekuasaan negara haruslah dikuasai, yakni memiliki alat untuk mempengaruhi struktur masyarakat, mengontrol ekonomi dan alat produksi. Tentunya alat ini ditentukan, terutama, oleh basis material yang telah ada: niat politik seluruh dunia, kekuasaan negara yang paling absolut, tidak mampu mentransformasi basis material pra-kapitalis menjadi bahan baku yang cukup bagi pembangunan sosialisme. Dalam kasus ini, yang dapat dijamin oleh kekuasaan politik, dalam batasan tertentu, adalah agar kebijakan pembangunan kapitalis mengabdi pada proyek strategis pembangunan sosialisme.

Karena, kecuali kelas pekerja memegang kekuasaan negara, mereka hanya memiliki pengaruh kecil dalam determinan-makro dari ekonomi yang memproduksi dan mereproduksi kapitalisme tiap harinya. Hanya dengan kekuasaan negara lah kelas pekerja dapat mengubah pola akumulasi yang ada di masyarakat, menggeser poros hegemonik dari kepemilikan swasta dan akumulasi kapital menjadi kepemilikan kolektif dan akumulasi sosial.

Menaklukan kekuasaan negara adalah proses yang kompleks, yang titik keberhasilannya adalah ditegakkannya monopoli atas kekerasan. Bukannya tidak akan ada tantangan terhadap monopoli ini, namun itu tak dapat mencapai titik di mana kekuasaan negara itu sendiri digugat. Selain monopoli kekerasan, penaklukan kekuasaan negara melibatkan elemen-elemen lainnya, seperti penciptaan kerangka institusional politik dan hukum; kapasitas untuk menjalankan ekonomi dan komunikasi sosial; pengakuan de facto dan de jure dari negara-negara lain, dsb. Lebih lagi, sebagaimana kita ketahui, kekuasaan adalah hubungan sosial yang dapat dimenangkan atau terkalahkan. Yang terjadi di tingkat mikro dengan pemerintahan yang baru terpilih dapat juga terjadi dalam skala makro dengan negara-negara yang memulai revolusi-revolusi sosial yang akbar. Revolusi "tidak dapat diputar-balikkan" hanya dalam pidato-pidato tertentu, bukan dalam sejarah yang sesungguhnya.

Tidak ada kelas sosial atau blok kelas-kelas yang mencapai kekuasaan negara dengan hanya menggunakan satu cara akumulasi kekuatan atau satu cara untuk merebut kekuasaan. Kemenangan insureksi Rusia, perang-perang kerakyatan Tiongkok dan Vietnam, perang gerilya Kuba, jadi tak dapat dipahami bila kita memisahkan bentuk perjuangan utama di tiap kasus tersebut dari bentuk-bentuk perjuangan lainnya yang ada untuk dicocok-cocokkan dengan bentuk perjuangan utama: perjuangan massa atau vanguard, legal atau klandestin, elektoral atau aksi massa.

Walau demikian kondisi suatu negeri atau suatu era memberikan peran katalis dan pendobrak kepada suatu bentuk perjuangan tertentu dalam pertarungan melawan kelas-kelas musuh dan kekuasaan negara. Namun kondisi katalis dari suatu bentuk perjuangan ini merupakan produk yang terkandung dalam situasi kongkrit, dan tak dapat dicangkokan ke situasi lainnya.

Kita telah beberapa kali membicarakan tentang penaklukkan kekuasaan negara, namun kita harus mengingat hal yang sudah pasti: bila kekuasaan adalah hubungan sosial, penaklukan kekuasaan negara membutuhkan pembangunan suatu korelasi kekuatan sosial tertentu, suatu blok sosial-politik yang bertujuan mempraktekkan suatu program tertentu.

Blok sosial-politik

Program yang mana? Jawaban atas pertanyaan ini menghantarkan kita kembali ke perdebatan tentang sifat revolusi. Dalam masyarakat kapitalis, pembangunan alternatif historis terhadap kontradiksi yang ada dalam masyarakat tertentu memerlukan dimulainya transisi sosialis. Tapi kesimpulan teoretik dan historis ini, yang mana menurut "panggilan jaman" adalah untuk melampaui kapitalisme, ketika diterjemahkan ke dalam medan strategi politik dapat dipahami setidaknya dalam dua cara: a) cara kiri yang memperjuangkan pembangunan blok sosial-politik yang mengait pada program sosialis; b) cara "demokratik-kerakyatan dan sosialis" yang memperjuangkan blok sosial politik yang mengait pada program yang saling menghubungkan langkah-langkah demokratik dengan langkah-langkah sosialis.

Dalam tahap perkembangan kapitalisme saat ini, langkah-langkah demokratik bukanlah sosialis, namun dapat mengambil arah anti-kapitalis.

Bagi mereka yang berpikir bahwa sosialisme dan anti-kapitalisme adalah sinonim, ini tidak lebih dari sekedar permainan kata. Tentunya sosialisme adalah konsekuensi anti-kapitalisme, bahwa anti-kapitalisme menyiratkan perlawanan terhadap corak produksi kapitalis. Namun dalam kehidupan sehari-hari, kapitalisme dikonfrontasikan dalam berbagai cara: perjuangan untuk upah yang lebih baik, reformasi tanah, perjuangan menentang monopoli swasta, mempertahankan BUMN, kebijakan publik yang universal, perjuangan melawan imperialisme dsb.

Perjuangan-perjuangan ini dilancarkan terhadap aspek-aspek kapitalisme atau, paling tidak, terhadap bentuk hegenomi kapitalisme dalam situasi historis tertentu, bukan dengan sendirinya mengarah untuk melawan kapitalisme secara umum, sebagai suatu corak produksi yang berdasarkan pada kepemilikan swasta dan pengambil-alihan nilai surplus.
Maka: Itu semua adalah perjuangan kapitalis melawan kapitalisme. Perjuangan yang umumnya diarahkan untuk membangun masyarakat kapitalis yang lebih demokratik secara politik, ekonomi, dan sosial.

Namun demikian, dalam kondisi yang berbeda, perjuangan yang bersifat kapitalis dalam melawan kapitalisme ini dapat mengintegrasikan gerakan yang kondusif untuk mengalahkan corak produksi kapitalis. Dalam kasus-kasus ini, seakan-akan di samping anti-kapitalisme atau sosialisme proletar terdapat kapitalisme pengusaha kecil, sosialisme borjuis kecil.

Blok sosial-politik yang mampu menantang dan menaklukan kekuasaan negara harus diorganisir seputar program yang mengombinasikan langkah-langkah (atau tugas, atau klaim) sosialis dengan langkah-langkah anti-kapitalis yang bukan dengan sendirinya sosialis. Dengan kata yang lebih tepat, langkah-langkah tersebut adalah demokratik, demokratik-borjuis, yang membela kepemilikan kecil dalam melawan kepemilikan besar, membela publik (yang beda dengan sosial atau kolektif) melawan swasta, membela nasional dalam melawan imperialisme.

Cara kiri dalam memandang pembangunan blok sosial politik tidak mampu berkelanjutan karena dua penyebab. Yang pertama berhubungan dengan perdebatan tentang sifat revolusi di Amerika Latin, suatu revolusi yang, sebagaimana kami katakan sebelumnya, harus menuntaskan tugas-tugas demokratik. Penyebab kedua benar-benar politis: korelasi kekuatan yang ada sebelum ditaklukannya kekuasaan negara dan tingkat kesadaran yang ada di antara kelas pekerja dan sekutu-sekutunya tidak memungkinan, jelasnya, pembentukan blok kekuasan yang hanya atau terutama dikaitkan dengan "perjuangan langsung untuk sosialisme".

Yaitu: bila terdapat dominasi kapitalis, ini terjadi karena tingkat kesadaran yang ada di antara rakyat bukanlah sosialis. Tingkat kesadaran ini hanya bisa kemudian menjadi sosialis ketika proses berjalan, yang oleh karenanya titik awal dari blok sosial politik yang baru ini tidak dapat secara eksplisit sosialis.

Ini sama saja dengan mengatakan bahwa: a) proses perjuangan kelas tidak selalu mencapai "temperatur" yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat kesadaran sosialis di antara mayoritas luas rakyat: b) sektor-sektor sosialis diharapkan bertindak untuk "meningkatkan temperatur" (menstimulasi proses perjuangan itu sendiri) dan meningkatkan tingkat kesadaran.

Karena sebab-sebab yang disebutkan di atas, blok sosial-politik yang mampu menantang dan menaklukan kekuasaan negara perlu melakukan pengorganisiran yang terkait dengan a) isu-isu "masa depan" (pembangunan sosialisme); b) dan, terutamanya, isu-isu "masa lalu dan masa kini" (menghadapi problem-problem yang berasal dari kapitalisme yang ada).

Ini artinya kekuatan sosialis menaklukkan dan mempertahankan kekuasaan negara bila dan ketika mereka berhasil membangun kekuatan mayoritas politik berdasarkan program aksi yang mengangkat isu-isu mendesak. Contoh klasik dari ini masihlah slogan "Roti, perdamaian dan tanah".

Revolusi Kuba 1959, Revolusi Rusia 1917 dan Revolusi Tiongkok 1949 benar-benar dihasilkan oleh radikalisasi demokratik, kerakyatan dan nasional yang berkelanjutan. Mereka adalah "revolusi sosial" bukan a priori tapi karena jalan yang mereka tempuh, karena proses global yang menyertainya.

Maka membicarakan "perjuangan langsung untuk sosialisme" hanya masuk akal bila kita menjabarkannya sebagaimana berikut: penaklukan kekuasaan negara yang ditujukan untuk melaksanakan langkah-langkah programatik demokratik kerakyatan dapat menjadi bagian integral transisi sosialis tanpa perlu ada fase perantara yang terpisah. Kata "perlu" dalam analisa ini adalah fundamental: tahapanisme adalah salah karena ia meyakini perlunya fase perantara yang berdiri sendiri; namun ini bukan berarti bahwa fase perantara tersebut ada atau akan terwujud, mereka pun mungkin tidak terlihat "berdiri-sendiri" sebagaimana yang terjadi dalam Revolusi Rusia dalam Program Ekonomi Baru dan yang kini terjadi di Tiongkok dengan "sosialisme pasar" yang di mata banyak pihak terlihat seperti periode berkepanjangan dari ditinggalkannya pembangunan sosialisme.

Istilah "dapat menjadi" juga fundamental karena ia mengindikasikan bahwa kita berdiri di hadapan suatu problem politik yang bergantung pada korelasi kekuatan, tingkat kesadaran massa, arah umum proses tersebut. Problem politik ini dapat menghasilkan solusi yang pada akhirnya akan bergantung pada pembangunan material dan potensi produktif yang sebelumnya telah dicapai oleh masyarakat tersebut.


Atas sebab-sebab di atas, adalah suatu keharusan untuk memerangi dua tipe kekiri-kirian: a) di satu pihak, tipe kekiri-kirian yang memanifestasikan dirinya dalam memperjuangkan sosialisme yang abstrak, yang memutuskan hubungan dengan perjuangan-perjuangan anti-kapitalis yang setengah-setengah; dan b) di pihak lain, kekiri-kirian yang menyalahpahami langkah-langkah anti-kapitalis dalam pengertian sempit dengan langkah-langkah "sosialis" dalam pengertian luas. Tipe kekiri-kirian yang kedua - sangat banyak terdapat di Amerika Latin saat ini - menyalahpahami proses-proses radikalisme retorik dan politik, kebanyakan disebabkan oleh perlawanan kelas penguasa terhadap radikalisme ekonomi dan sosial mereka, namun mereka lupa bahwa untuk menundukkan kapitalisme harus ada perkembangan kapitalis yang akan ditundukkan.

Terhadap apa yang telah kami katakan sejauh ini, perlu ditambahkan variabel lain: garis neo-tahapanis dari kiri moderat Amerika Latin, yang memutus hubungan antara tugas-tugas demokratik dan perjuangan sosialisme. Dalam beberapa kasus, ini disebabkan karena mereka adalah kaum kiri yang telah meninggalkan sosialisme. Dalam kasus lainnya, mereka adalah kaum kiri yang bukannya mempertahankan posisinya dan melawan, justru memilih untuk berkapitulasi dengan korelasi kekuatan yang ada. Atau juga karena mereka adalah kaum kiri yang, meskipun mempertahankan komitmen sosialis yang sesungguhnya, hal itu dilakukan dengan membangun suatu "strategi proses" (yang terjemahan musikalnya ada dalam sebuah bait dari lagu yang sangat populer di Brasil: "Deixa a vida me levar - Biarlah hidup menuntunku").

Maka kita bisa mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga rancangan programatik secara luas: kiri, tahapanis dan demokratik-kerakyatan. Yang kiri tidak mampu mengenali perbedaan yang ada secara memadai; yang neo-tahapanis melihat pemisah berupa tembok Tiongkok; dan yang demokratik-kerakyatan berupaya untuk menggabungkan perjuangan melawan neoliberalisme dan perjuangan untuk sosialisme menjadi suatu kesatuan.

Perbedaan-perbedaan ini saling melintasi satu sama lain dengan berbagai cara ketika kita menggeser diskusi programatik menjadi diskusi tentang jalan apa yang perlu diadopsi, baik untuk mengakumulasi kekuatan atau merebut kekuasaan.

Perang gerilya dan jalan elektoral

Tahun 1960an menjadi saksi dari peningkatan radikal perjuangan kelas di penjuru Amerika Latin, mencerminkan pematangan kontradiksi yang tipikal dari model pengembangan kapitalis yang dominan di wilayah tersebut: bersifat ketergantungan dan konservatif. Hal ini ada dalam konteks campur tangan AS di wilayah tersebut dan konflik antara "kubu-kubu". Pada saat itu, sebagian kaum kiri Amerika Latin, yang terstimulasi oleh pengalaman Kuba dan bergabung dengan slogan yang menyerukan penciptaan "banyak Vietnam" mengadopsi strategi "perang gerilya".

Dalam beberapa negeri, perang gerilya berakar dan menyatu dengan situasi nasional. Namun dalam kebanyakan kasus, tidaklah demikian halnya. Kecuali Nikaragua dan Kuba sendiri, tidak ada tempat lain di Amerika Latin di mana perang gerilya berakhir dengan kemenangan revolusioner. Dalam beberapa kasus seperti El Salvador dan Guatemala, gerilya meraih kekuatan yang cukup untuk mencapai kesepakatan damai yang menciptakan kerangka kerja untuk mengakhiri konflik bersenjata; tapi dalam sebagian besar kasus, kekuatan gerilya dihancurkan. Kini, di Amerika Latin, Kolombia adalah satu-satunya negeri di mana terdapat kelompok-kelompok seperti itu yang mempertahankan keampuhan taktik strategi gerilya.

Dengan berakhirnya siklus Gerilya pada akhir 1970an dan awal 1980an, strategi lain mulai mengambil bentuk dengan berdasar pada kombinasi perjuangan sosial, kontes elektoral dan pelaksanaan pemerintahan di tingkat nasional, sub-nasional dan lokal.
Strategi ini telah dimahkotai (sejak 1998 dengan Hugo Chavez dan hingga kini, 2009, dengan Funes) dengan gelombang kemenangan partai-partai kiri dan progresif dalam pemilu pemerintahan nasional di beberapa negeri di Amerika Latin.

Gelombang kemenangan elektoral ini adalah produk dari berbagai keadaan, terutama: 1) AS relatif tidak peduli dengan pateo trasero [pekarangan belakang] nya; b) dampak merugikan neoliberalisme, termasuk partai-partai sayap kanan; c) akumulasi kekuatan oleh kaum kiri, terutama dalam mengombinasikan perjuangan sosial dan perjuangan elektoral. Saat ini terdapat korelasi kekuatan di wilayah tersebut yang, selain mendorong perubahan di tiap negeri, mengandung campur tangan imperialis.

Situasi regional ini muncul berdampingan dengan dua variabel lainnya yang bersifat mendunia: perjuangan defensif strategis untuk sosialisme dan krisis kapitalisme yang dalam dan berkepanjangan. Inilah basis material yang memungkinkan kerjasama antara beraneka ragam aliran-aliran kiri Amerika Latin: keberadaan situasi historis di mana terdapat saling keterkaitan antara keberadaan kaum kiri dalam sejumlah pemerintahan di wilayah tersebut, perjuangan defensif strategis untuk sosialisme dan krisis kapitalisme yang dalam dan berkepanjangan.

Inilah variabel-variabel fundamental dari situasi strategis bersama di semua Amerika Latin yang memungkinkannya untuk di saat yang sama menuntut kerjasama tingkat tinggi antara beragam sektor kiri Amerika Latin - yang tanpanya tidaklah mungkin menuntaskan defensif strategis dan menghindari resiko akibat krisis kapitalisme.

Dari sudut pandang kiri sosialis, pertanyaan utama untuk dijawab adalah bagaimana melibatkan keberadaan pemerintahan kiri dan progresif sebagai titik tumpu perjuangan sosialisme dan bagaimana sedemikian rupa mengoordinasikan berbagai macam proses yang berjalan di tiap negeri sehingga mereka saling menguatkan satu sama lainnya.

Integrasi dan Strategi

Sepanjang abad ke-20, kaum kiri Amerika Latin dan Karibia menghadapi dua rintangan besar: kekuatan musuh di tingkat nasional dan campur tangan asing. Yang terakhir selalu ada, terutama dalam momen-momen ketika kaum kiri berupaya atau sesungguhnya telah mencapai kekuasaan dan pemerintahan pusat. Ketika kelas penguasa lokal tak mampu membendung kaum kiri, mereka beralih ke marinir AS.

Kini, lingkungan progresif dan kiri berkontribusi pada pemilihan dan pemilihan-ulang, membantu menghindari kudeta (contohnya terhadap Chavez dan Evo Morales) dan berperan fundamental dalam mengutuk invasi Ekuador oleh pasukan Kolombia. Selain itu mereka juga menetralisir atau setidaknya meminimalisir kebijakan blokade ekonomi, yang memainkan peran penting dalam strategi sayap kanan melawan pemerintahan Allende di Cili dan kini masih mempengaruhi Kuba.

Keberadaan korelasi kekuatan yang menguntungkan di wilayah ini menciptakan kondisi yang lebih baik bagi tiap proses nasional dalam menyusuri jalannya sendiri. Ini menciptakan begitu banyak kemungkinan, dalam batas tertentu belum pernah ada sebelumnya, bagi semua program dan strategi kaum kiri. Maka, tugas pertama kaum kiri Amerika Latin adalah untuk menjaga korelasi kekuatan di benua ini.

Yang terjadi adalah ketika kekuatan kiri mampu meraih pemerintahan pusat di suatu negeri, mereka melakukannya dengan suatu program yang didasarkan pada tripod persamaan sosial, demokratisasi politik dan kedaulatan nasional.

Dan perjuangan untuk kedaulatan nasional tidak hanya melawan "metropolis imperialis" tapi juga melibatkan penyelesaian konflik antara negeri-negeri di wilayah ini. Konflik-konflik ini tidaklah "diciptakan" oleh pemerintahan yang ada, biasanya merupakan warisan dari periode sebelumnya, termasuk pembangunan yang tak merata dan ketergantungan yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam kebanyakan kasus, mereka tidak dapat diselesaikan dalam masa jabatan yang pendek: karena mereka memiliki penyebab-penyebab struktural, solusi hanya dapat ditemukan dalam jangka panjang, dalam kerangka kerja berupa proses integrasi regional yang memadai.

Penajaman konflik regional ini akan menghasilkan produk sampingan berupa mengaburnya beberapa kontradiksi yang lebih relevan dengan metropolis imperialis.

Maka dari itu sudut pandang strategis kita harus memastikan bahwa konflik-konflik ini tidak menjadi kontradiksi utama, karena, bila itu terjadi, korelasi kekuatan Amerika Latin akan bergeser untuk menguntungkan campur tangan asing.

Sudah cukup diketahui bahwa pemerintahan progresif dan kiri di wilayah ini menyusuri jalan perkembangan dan integrasi, terlepas dari perbedaan strategi dan percepatan yang mereka ambil.

Dan juga telah disebutkan bahwa besar kecilnya kemungkinan sukses, dalam tingkat nasional, terkait dengan keberadaan korelasi kekuatan Amerika Latin yang menguntungkan posisi kiri dan progresif.

Di sini, kesimpang siuran (imbroglio) strategi kita dapat dirangkum sebagai berikut: bagaimana mengharmoniskan berbagai strategi nasional dengan pembangunan suatu strategi kontinental bersama yang menjaga persatuan dalam keberagaman?

Solusi struktural terhadap konflik regional mengharuskan penyusutan ketimpangan, tidak hanya dalam tiap negeri, tapi juga melintasi ekonomi-ekonomi di sub-benua kita. Sifat institusional dari integrasi ini, baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, harus disesuaikan untuk tujuan ini.

Menekan ketimpangan dalam tiap negeri mengharuskan kita menghadapi "warisan terkutuk" dan menerapkan reformasi sosial yang mendalam. Namun ini tidak cukup untuk menghapuskan ketimpangan yang ada di antara ekonomi-ekonomi, tujuan ini membutuhkan kombinasi jangka panjang berupa langkah-langkah solidaritas, pertukaran langsung dan juga langkah-langkah pasar.

Saat ini terdapat tiga "model" yang berdampingan: pertama adalah model dekaden yang subordinat terhadap AS, kedua adalah model Aliansi Bolivarian bagi Rakyat Amerika Kita (ALBA - suatu blok dagang lima bangsa yang diinisiatifkan oleh Kuba dan Venezuela) dan ketiga adalah model Uni Bangsa-bangsa Amerika Selatan (UNASUR).
Model ALBA pantas mendapat penghargaan tersendiri; terlepas dari apa pun kemungkinan penilaian kita tentang keberlanjutan internalnya, sifat kesepakatan yang ditandatangani, penerapannya yang sesungguhnya dan dampaknya terhadap negeri-negeri penerimanya. Tapi tidak ada korelasi kekuatan, mekanisme institutional dan situasi ekonomi yang memungkinkan negeri-negeri di wilayah itu untuk mengadopsi prinsip-prinsip solidaritas ALBA dan/atau mengoperasikannya dengan cara yang serupa dengan pemerintahan Venezuela. Pada intinya, negeri-negeri kapitalis tidak mampu secara berkelanjutan mempertahankan kebijakan luar negeri yang sosialis.

Maka, meskipun tiap alternatif sayap kiri mesti melibatkan komponen solidaritas, dimensi utama kesepakatan dalam fase integrasi Amerika Latin saat ini masihlah mengenai perdagangan, ekonomi dan kesepakatan institusional, yang melibatkan pemerintahan dan perusahan milik pemerintah dan/atau swasta dalam UNASUR (terdiri dari Bank Selatan dan Dewan Pertahanan).

Jalan ini mengandung beberapa resiko: a) inisiatif seperti UNASUR mengharuskan berbagi meja dengan musuh ideologis dan politik yang masih memerintah negeri-negeri penting di wilayah ini; b) dinamika integrasi menyertai momen-momen protagonisme yang lebih besar bagi para presiden, yang diselingi dengan periode-periode yang umumnya lebih bersifat birokratik antara departmen luar negeri tiap negeri; c) kesepakatan perdagangan dan ekonomi selalu menguntungkan, kurang lebih, kepentingan kapital; setidaknya selama corak produksi ini masih hegenomik dalam negeri yang terlibat; d) perusahaan-perusahaan yang terlibat umumnya mengejar keuntungan jangka pendek terlebih dulu dan baru kemudian tujuan strategis operasi, yakni, pengembangan dan integrasi; e) kelangsungan UNASUR bergantung pada komitmen ekonomi-ekonomi utama di wilayah.

Kesimpulan: dalam kerangka persamaan strategis bersama (yakni "berada dalam pemerintahan sebagai bagian dari perjuangan untuk meraih kekuasaan") kita harus mengoperasikan kebijakan nasional khusus, namun dikombinasikan dalam suatu strategi kontinental bersama, yang percepatannya akan ditentukan oleh jalan dan kecepatan yang ditempuh oleh transformasi-transformasi di negeri-negeri yang lebih besar, dimulai dengan Brasil. Bahkan bila ini membuat kita berbaris lebih lamban, yang terbaik adalah menjaga barisan "pelopor" dekat dengan badan pasukan utama. Yang kemudian membawa kita pada diskusi tentang bagaimana mengambil keuntungan dari keberadaan pemerintahan kiri dan progresif sebagai titik-tumpu dalam perjuangan untuk sosialisme.

Pemerintahan-pemerintahan yang baru terpilih dan perjuangan untuk sosialisme

Bila kita mengecualikan kaum hiper-moderat dan ultra-kiri, kita dapat mengatakan bahwa terdapat dua posisi dasar di antara kaum sosialis Amerika Latin terkait pemerintahan progresif dan kiri yang ada di wilayah ini: a) mereka yang memandang pemerintahan seperti itu sebagai bagian dari proses akumulasi kekuatan; b) dan mereka yang menilai bahwa pemerintahan seperti itu merupakan bagian fundamental dari akumulasi kekuatan dan juga jalan untuk merebut kekuasaan

Kedua posisi tersebut pada utamanya didasarkan pada observasi terhadap hubungan antara reformasi dan revolusi. Dalam sejarah umat manusia terdapat periode evolusi "reformis" dan periode evolusi "revolusioner". Perbedaan antara yang pertama dan terakhir terletak pada tiga kombinasi aspek: muatan perubahannya, cara penerapan perubahan tersebut dan kecepatannya ketika terjadi. Tapi perbedaan fundamentalnya adalah sifat dari perubahan-perubahan tersebut.

"Pemagaran" [lahan menjadi milik pribadi - enclosures], meluasnya perangkat mesin dan ofensif imperialis di Tiongkok, sebagai contoh dari dari abad 18, 19 dan 20 secara berturutan, bersifat revolusioner sejauh pengertian bahwa mereka merubah hubungan sosial dalam produksi. Adalah hal tersebut, bukannya kecepatan atau bentuknya yang menggunakan kekerasan, yang mendefinisikan karakter revolusioner dari proses-proses yang ditulis di atas.

Proses revolusioner tidak muncul dari langit dengan begitu saja, dengan pembentukan spontan. Revolusi merupakan momen dalam evolusi kontradiksi masyarakat, momen di mana kontradiksi-kontradiksi ini mencapai satu titik penghancuran, atau transformasi menuju sesuatu yang berbeda. Dengan kata lain, revolusi muncul ketika suatu masyarakat tidak dapat lagi berevolusi secara "reformis". Maka terdapat kontinuitas, namun juga penghancuran, di antara momen "reformis" dan momen "revolusioner" dalam evolusi masyarakat. Revolusi tidak akan ada tanpa reformasi; namun revolusi ada justru karena reformasi tidak lagi memadai.

Ke dalam ini semua, harus ditambahkan bahwa komponen menentukan dalam transformasi reformasi menjadi revolusi terletak pada kombinasi antara kemampuan kelas-kelas dominan untuk melawan dan tingkat perlawanan kelas-kelas dominan. Ketika mereka yang di bawah berjuang dengan gigih untuk perubahan dan mereka yang di atas menawarkan perlawanan brutal, terciptalah kondisi untuk mentransformasi perjuangan reformasi menjadi suatu revolusi.

Bergeser dari sudut pandang historis ke strategis, jelaslah bahwa proses elektoral tidak memadai untuk memulai pembangunan sosialisme saat jalan tersebut memungkinkan kita mencapai pemerintahan, bukannya kekuasaan. Atas sebab ini, dalam masyarakat di mana kaum kiri mampu mencapai pemerintahan via jalan elektoral, perlu dibangun suatu jalan menuju kekuasaan yang mempertimbangkan kenyataan bahwa keberadaan kita dalam pemerintahan merupakan variabel yang sangat relevan dengan kebijakan revolusioner, sebagai bagian dari kondisi historis, bukan sebagai "problem-problem yang tidak diantisipasi" atau sebagai "penyimpangan yang tak dikehendaki."

Menariknya, kebanyakan kaum kiri tidak melihat ada kesulitan teoretik dalam menghubungkan momen reformis dan momen revolusioner dalam strateginya, ketika yang dihadapi adalah perjuangan serikat buruh atau pemilihan wakil parlementer. Namun ia menghadapi kesulitan yang besar ketika persoalannya adalah melaksanakan pemerintahan nasional.

Salah satu penyebab dari kesulitan ini adalah, dalam kebanyakan kasus di mana kaum kiri mengambil alih pemerintahan nasional secara elektoral, mereka tak mampu mengakumulasi kekuatan menuju sosialisme: baik karena mereka meninggalkan programnya, dikalahkan secara elektoral atau digulingkan oleh kudeta dan/atau intervensi asing. Bila revolusi sosialis merupakan peristiwa langka, sepertinya lebih langka lagi transisi sosialis oleh pemerintahan yang baru terpilih.

Namun demikian, kekalahan pengalaman-pengalaman seperti Persatuan Kerakyatan di Cili, maupun kekalahan sejumlah upaya revolusioner klasik lainnya, tidak dapat menyimpulkan ketidak-mungkinan suatu jalan strategis; ia hanya dapat menyimpulkan bahwa kaum kiri, yang bertindak dan mengambil opsi-opsi tertentu, dikalahkan dalam kondisi historis tertentu.

Bagi mereka yang meyakini bahwa kemenangan elektoral kaum kiri selalu menjadi pintu bagi kekalahan, maka perlulah dijawab dua pertanyaan berikut: a) bagaimana mengakumulasi kekuatan dalam jenjang historis di mana "demokrasi elektoral" berkuasa: b) bagaimana mengukuhkan legitimasi terhadap cara-cara klasik dalam merebut kekuasaan dalam jenjang di mana kaum kiri meraih kemenangan elektoral.

Kini bagi mereka yang meyakini bahwa, dalam situasi historis tertentu, dengan mengadopsi kebijakan tertentu, adalah mungkin mentransformasi kemenangan elektoral untuk mengakumulasi kekuatan menuju sosialisme, perlulah dijawab: a) apakah pemerintahan tersebut merupakan tipe "persinggahan" dalam suatu rute yang akan berujung pada penghabisan revolusioner? b) apakah pemerintahan tersebut merupakan bagian integral dari suatu cara perebutan kekuasaan yang berbeda dari insureksi dan perang kerakyatan?

Mereka yang mempertahankan posisi kedua ini terpanggil untuk mempelajari pengalaman paradigmatik lainnya dari kiri Amerika Latin: pemerintahan Persatuan Kerakyatan Cili (1970-73). Kaum kiri hiper-moderat meyakini bahwa mereka tidak perlu belajar banyak dari pengalaman Persatuan Kerakyatan, karena Persatuan Kerakyatan secara eksplisit mengajukan diri sebagai jalan menuju sosialisme. Paling baiknya, mereka menggunakan pengalaman Persatuan Kerakyatan untuk menanamkan ketakutan tersendiri terhadap kaum kanan, imperialisme dan angkata bersenjata, sekaligus "membuktikan" bahwa korelasi kekuatan janganlah "dipertegang".

Kaum ultra-radikal pun tidak begitu memandang penting pengalaman Persatuan Kerakyatan, yang tidak cocok bagi paradigma yang mereka pilih: insureksi, perang gerilya atau, yang lebih belakangan ini, "gerakanisme". Paling baiknya, mereka menggunakan pengalaman Persatuan Kerakyatan untuk mengonfirmasikan ketakutan mereka terhadap kaum kanan, imperialisme dan angkatan bersenjata, sekaligus "membuktikan" bahwa jalan elektoral menuju sosialisme adalah sia-sia.

Dengan penuh semangat, kaum hiper-moderat dan ultra-kiri meragukan kemungkinan menggunakan proses-proses elektoral (dan mandat yang menyertainya) sebagai titik tumpu bagi perjuangan menuju sosialisme.

Ketika kita mendiskusikan peran pemerintahan nasional terpilih dalam perjuangan untuk sosialisme, kita melakukannya dalam situasi historis yang berbeda dari 1970-1973. Namun, persoalan fundamental yang perlu dipelajari dan diperdebatkan belum berubah: a) komposisi dan program dari blok kerakyatan-historis; b) kombinasi antara keberadaan aparatus negara dan pembentukan kekuasaan tandingan, terutama dalam kasus angkatan bersenjata; c) bagaimana menghadapi sikap kelas-kelas dominan yang, saat berhadapan dengan ancaman terhadap kepemilikan dan kekuasaannya, melabrak legalitas dan mendorong proses yang ada menuju situasi kekacauan; d) besar kecilnya kematangan kapitalisme yang ada pada tiap formasi sosial konkrit dan kemungkinan selanjutnya bagi penerapan langkah-langkah sosialis. Hal yang baru dan besar, yang mempengaruhi kondisi-kondisi persamaan yang dirangkum di atas, adalah terbentuknya, antara tahun 1998 dan 2008, suatu korelasi kekuatan di Amerika Latin yang memungkinkan ditekannya campur tangan asing.

Selama situasi ini bertahan, adalah mungkin untuk berspekulasi, secara teori dan praktek, tentang jalan perebutan kekuasaan yang meskipun revolusioner, namun berbeda dari insureksi dan perang kerakyatan.

Valter Pomar, sekretaris hubungan internasional Partai Pekerja (PT) Brasil.
*) Diterjemahkan oleh Data Brainanta, redaksi Berdikari Online.Sebelumnya, artikel ini sudah dimuat di Jurnal LINKS, International Journal of Socialist Renewal.


 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia