OLEH: DEMSA SIMBOLON
Jakarta - Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat miskin, boleh berlega hati.
Ini karena rumah sakit (RS) yang ada di Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan fungsi sosialnya dalam pelayanan pasien tidak mampu tanpa diskriminasi lagi. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, yang disahkan tanggal 28 Oktober lalu. UU itu tegas melarang RS pemerintah memungut uang jaminan, menjual darah, mengenakan tarif ambulans kepada pasien, begitu juga semua ruangan yang harus disetarakan dengan kelas tiga.
Masalah pada pencapaian derajat kesehatan, biasanya menyangkut masalah rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, di antaranya akses biaya, akses transportasi, akses informasi, dan sebagainya, ditambah dengan perlakukan diskriminasi oleh oknum RS. Padahal, perjuangan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin telah diamanatkan dalam UUD 1945. Bahkan, berbagai program kesehatan juga berusaha selalu berpihak pada masyarakat miskin, seperti adanya Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), Jaringan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan lain sebagainya.
Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, menemukan adanya keluhan masyarakat miskin karena tidak adanya akses ke fasilitas kesehatan, 25% karena masalah biaya untuk berobat, 15% karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan, 13% masalah tranportasi dan 11% karena tidak tersedianya tenaga pekerja perempuan (BPS, 2007). Sementara itu, hasil survei Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR di enam kota di Indonesia menemukan adanya ketidakpuasan pasien miskin di RS pemerintah disebabkan pelayanan administrasi yang rumit, kurang informatif dan membutuhkan waktu berhari-hari, serta adanya perbedaan pelayanan atas dasar tingkat sosial ekonomi pasien.
Hingga saat ini, pertanyaan yang belum terjawab adalah, kapan kebijakan kesehatan benar-benar berpihak pada masyarakat miskin?
Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2007, bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, menemukan adanya keluhan masyarakat miskin karena tidak adanya akses ke fasilitas kesehatan, 25% karena masalah biaya untuk berobat, 15% karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan, 13% masalah tranportasi dan 11% karena tidak tersedianya tenaga pekerja perempuan (BPS, 2007). Sementara itu, hasil survei Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR di enam kota di Indonesia menemukan adanya ketidakpuasan pasien miskin di RS pemerintah disebabkan pelayanan administrasi yang rumit, kurang informatif dan membutuhkan waktu berhari-hari, serta adanya perbedaan pelayanan atas dasar tingkat sosial ekonomi pasien.
Hingga saat ini, pertanyaan yang belum terjawab adalah, kapan kebijakan kesehatan benar-benar berpihak pada masyarakat miskin?
Sebenarnya, sudah banyak kebijakan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin. Bahkan, sejak 1945, UUD 1945 Pasal 28 H mengamanatkan kesehatan adalah hak setiap warga negara. UU Nomor 23/1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 menyebutkan adanya lima hak pasien, salah satunya mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Program Jamkesmas melalui subsidi silang antara masyarakat kaya dengan miskin dan antara masyarakat yang sehat kepada yang sakit, dengan harapan memberikan pelayanan kesehatan yang adil.
Namun, dalam pelaksanaannya, banyak ditemukan penyimpangan. Padahal, untuk menjalankan kebijakan tersebut, pemerintah telah mengalokasikan dana yang cukup besar, bersumber dari APBN dan APBD yang notabene dari rakyat (pajak). Oleh karena itu, sudah selayaknya pula masyarakat miskin mendapatkan akses kesehatan yang layak, tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan apa pun. Terakhir, UU RS disahkan pada 28 Oktober lalu, diharapkan dapat menghapus diskriminasi terhadap masyarakat miskin.
Banyak harapan yang digantungkan dengan disahkannya UU RS ini. Dalam implementasinya di RS, pemerintah dapat lebih mengawasi pengelolaan RS agar tidak ada pihak yang dirugikan. Untuk merealisasikan amanat UU RS, pemerintah diharapkan segera membuat peraturan pemerintah (PP) yang mengatur petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) di lapangan, sebagai acuan dalam membuat peraturan daerah (perda) yang mengatur juklak dan juknis pelaksanaan di RS. n
Penulis adalah pengajar Poltekkes Bengkulu dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI.