Minggu, 22 November 2009

Akhiri Model WTO Dengan Kerjasama Berdasarkan Solidaritas

Oleh: Lukman Hakim

Jakarta (Berdikari Online) - Tak lama lagi akan ada gelaran acara untuk melapangkan jalan kapitalisme-imperialisme mencengkram negeri-negeri berkembang. Sebuah organisasi perdagangan dunia, yang sejak awal ide berdirinya dipersiapkan untuk kelangsungan hidup kapitalisme. Organisasi (baca: perangkap) itu adalah WTO (World Trade Organization) yang merupakan metamorphosis dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang dibangun tahun 1947.

Metamorfosa itu sendiri tak berjalan lancar dan cepat, proses ini memerlukan waktu yang panjang seiring dengan tarik ulur (persaingan) antara kapitalis global yang bercokol di negara-negara maju, dan juga pertentangan antara kapitalis dengan negara miskin/berkembang yang bakal jadi mangsanya. Barulah pada tahun 1994 lahir WTO.

Setelah 15 tahun WTO beroperasi, tercatat dunia mengalami krisis ekonomi akut sebanyak dua kali. Hal ini mengindikasikan bahwaWTO telah gagal, bahkan bagi kapitalisme itu sendiri. Secara kuantitas keanggotaan WTO telah berhasil menyeret hampir seluruh negara di dunia kedalam cengkramannya, yang sebagian besar adalah negara miskin dan berkembang. Negara-negara ini merupakan target perluasan pasar bagi produksi negara maju. Negara-negara itu miskin bukan karena tak punya sumberdaya yang memadahi, namun lebih karena belum adanya industrialisasi dan transfer teknologi layak yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kolonialisme.

Kenyataannya, kapitalisme tak hanya butuh perluasan pasar bagi produknya, ia juga membutuhkan ekspansi produksi . Maka drama penghisapan, kolonialisme baru juga dilangsungkan, dengan berbagai tipu-daya melalui lembaga keuangan internasional (WB, IMF, ADB, dsb). "Bantuan"utang pun digelontorkan guna menjerat negara- negara miskin berkembang. Multinasional Corporation/MNC berebut tanpa ampun menghisap sumberdaya alam negara-negara miskin, merayu dan menjadikan penguasa lokal sebagai anteknya. Begitulah cara kapitalisme hidup dan bertahan.

Ketidakadilan WTO sebenarnya sudah dirasakan oleh masyarakat dunia. Ini diperlihatkan oleh banyaknya protes yang dilakukan disetiap agenda WTO. Penggalangan kekuatan masyarakat sipil dunia terus berlangsung hingga saat ini. Tak hanya ditingkat masyarakat, ketidak adilan juga dirasakan oleh banyak anggotanya yang termanifestasi dalam bentuk kelompok G33. Negara-negara ini merupakan kumpulan negara berkembang yang melihat adanya ketidak adilan dalam menaksime dan kesepakatan WTO, terutama yang dilakukan oleh negara maju, yaitu Uni Eropa, Jepang, Amerika dan Kanada.

Namun demikian, upaya dari kelompok gerakan masyarakat sipil maupun "perlawanan" kelompok G33 ternyata belum mampu menggoyahkan agenda licik WTO yang distir oleh negara maju.

Mengapa demikian? Pertama, karena gerakan masyarakat sipil masih belum mempunyai arah politik yang jelas, ia masih merupakan gerakan protes semata (control?). Artinya dalam mendesakan tuntutannya gerakan ini tak termanifestasi pada gerakan politik di negaranya masing-masing dan bahu membahu membuat jaringan internasional yang terarah dan solid. Konkritnya lagi gerakan ini hanya bekerjadi tingkat elit, loby dan advokasi kebijakan dan seterusnya.

Kedua, G33 masih terkungkung pada agenda yang masih berada didalam koridor WTO. Artinya, bahwa isu yang dibawa oleh G33 bukanlah isu yang dapat benar-benar membebaskan negara-negara tersebut dari imperialisme. Soal Agreement on Agriculture (AoA), misalnya, yang mau tak mau harus diakomodir (dalam pembahasan) oleh nagara maju karena mereka juga sedang menjalankan itu di negerinya. Negara-negara maju itu selama ini, sambil merayu dan membujuk serta memaksa negara lain untuk membuka pasar di sector pertanian, dengan sekuat tenaga dan licik melakukan proteksi terhadap sektor pertaniannya.

Ketiga, antara gerakan masyarakat sipil dan penguasa local belum menjadi kekuatan yang solid atau bahkan masih banyak pertentangan dalam hal isu-isu local, semacam kediktatoran, kesejahteraan, korupsi dan sebagainya. Hal ini disebabkan olehkarena negara-negara G33 adalah penganut ekonomi neoliberal, dengan sadar atau terpaksa karena terlilit utang, dan seterusnya.

Bubarkan WTO, Galang Kerjasama EkonomiGlobal yang Adil

Upaya strategis guna melawan dominasi imperialisme, dalam hal ini WTO adalah menggalang kekuatan untuk membubarkan organisasi perdagangan dunia tersebut. Bagi negara-negara berkembang, jika WTO dirasa tidak membawa manfaat bagi rakyatnya, tidak ada kata lain selain keluar dari WTO. Kelompok G33 yang kini jumlah anggotanya mencapai 46 negara, semestinya dapat meningkatkan aksi "perlawanan"nya dengan memutuskan keluar dari WTO dan membangun kongsi dagang sendiri diluar negara-negara maju. Suatu kerjasama ekonomi global yang didasarkan atas solidaritas, non-profit, keseimbangan, pemerataan dan keadilan serta ditujuan untuk kemakmuran global.

Akan tetapi, akankan harapan mulia itu dapatditumpukan pada G33? Tidak! Kita telah mengerti, pemerintah macam apa mereka. G33 tak ubahnya merupakan kelompok negara miskin berkembang yang memiliki ketergantungan terhadap negara (kapital) maju. Mereka telah tertusuk hidungnya hingga tak berani bergerak bebas sebebas-bebasnya. Mereka dibawah total control negara maju. Mereka adalah antek dan kaki tangan neoliberal.

Oleh karena itu kuncinya adalah dengan membangun kekuatan politik riil di setiap negara miskin berkembang dan membangun jaringan yang solid. Mempunyai agenda rutin dan kongkrit dengan meletakan dasar atas musuh bersama yaitu imperialisme (WTO). Proses persatuan internasional selama ini dibangun sangat rumit dan bongkar pasang oleh karena banyaknya kepentingan dan idiologi dikalangan gerakan. Masih adanya perbedaan tahap-tahap perjuangan di masing-masing negeri juga merupakan kendala tersendiri.

Oleh karenanya gerakan masyarakat sipil yang selama ini dibangun haruslah ditingkatkan menjadi gerakan politik (mengambil alih kekuasaan) di setiap negerinya dan membangun jaringan solidaritas global yang solid. Sembari terus memberikan perlawanan bersama secara global yang selama ini dilakukan, gerakan masyarakat sipil harus mulai membangun alat-alat politik di setiap negeri guna mengganti penguasa yang pro neoliberal. Taktik perjuangan memanfaatkan alat-alat elektoral dewasa ini telah memberikan contoh positif di berbagai negeri guna menguasai pemerintahan. Jika G33 telah dipimpin oleh pemimpin yang pro rakyatnya niscaya kerjasama ekonomi semacam WTO dan lain sebagainya tak diperlukan lagi. Komunitas global lebih membutuhkan kerjasama yang adil dan bermanfaat bagi rakyatnya.

Akhirnya, semua berpulang pada konsistensi dan progresifitas gerakan masyarakat sipil itu sendiri. Gerakan yang melibatkan secara langsung kaum buruh, petani, dan rakya miskin secara umum serta menggalang solidaritas pelaku industry dalam negeri yang prokemandirian bangsa. Oleh karenanya, di Indonesia tercinta ini, harapan dapat kita tumpukan pada elemen-elemen gerakan masyarakat sipil yang secara rutin selama iniberpartisipasi dalam protes-protes terhadap WTO, untuk membangun kekuatan politik di dalam negeri mulai dari sekarang. Mudah-mudahan tidak akan menjadi "pepesan kosong" semata yang justru dapat memoles WTO menjadi lembaga yang terkesan demokratis, terbuka dan adil karena merasa dikontrol oleh masyarakat dunia. ***

*)Penulis adalah pengurus pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI)
 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia