Minggu, 19 Februari 2006

Lima Ratus Perak & Aksi Rakyat Miskin

INSPIRASI

Pada tanggal 24 Agustus, 2006, serentak warga dari 4 kelurahan di Jakbar, Jaktim dan Jakut, yang mengatasnamakan Posko Perjuangan Rakyat Miskin Kota (POPRAM), melakukan demonstrasi di kelurahan dan kecamatannya, bahkan di BULOG DKI Jakarta. Tuntutannya antara lain pembagian RASKIN; perbaikan jalan; pengasapan DBD gratis; buku pelajaran/seragam gratis; pengurusan KTP/KK gratis; pendidikan/kesehatan gratis; pemekaran RT bagi pemukiman (yang dianggap) liar; dan lain sebagainya. Jawabannya sudah bisa diperkirakan: akan ditampung dan diteruskan ke atas; atau masih kesulitan dana. Tapi ada jawaban yang di era reformasi seharusnya sudah tidak klise: intimidasi dan teror setelah demonstrasi (bahkan oleh preman yang dikerahkan RT).

Ada sebuah metode yang mengesankan dalam meningkatkan partisipasi dan menguji komitmen (kesetiaan) orang-orang miskin yang dilakukan oleh Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) melalui Poskonya, yang mereka sebut Posko Perjuangan Rakyat Miskin (POPRAM). Bukan sembarang posko bongkar pasang, juga tak seperti posko-posko PDI yang dahulu banyak di berbagai sudut jalan—yang sisanya kini lebih banyak dipakai untuk pos kamling, pangkalan ojeg, atau tempat nongkrong main kartu. POPRAM adalah alat bagi orang-orang miskin (perkotaan) untuk memperjuangkan hak-hak mendesaknya.

Metode aksi massa, setelah bisa direbut kembali oleh generasi tahun 80-an dan 90-an, kini juga sudah menjadi metode rakyat miskin yang selama ini dipinggirkan oleh kekuasaan. SRMK membuktikan bahwa perjuangan massa yang sadar bisa sampai mencapi bentuk komitmen membiayai perjuangannya sendiri. Dan bentuk yang paling penting: membiayai sendiri aksi-aksinya. Aksi sudah menjadi metode yang sangat penting bagi mereka dan sudah bisa dipahami (secara kongkrit) manfaatnya[1], sehingga mereka mau membiayainya.

Barangkali patut dicontoh, apa yang telah dilakukan oleh SRMK dalam membiayai ongkos perjuangan. Betapa tidak, setiap aktifitas perjuangannya dibiayai dari kocek para anggotanya sendiri, yang nota bene berlatar belakang orang miskin. Dan (peningkatan) kesadaran untuk membiayai perjuangannya merupakan cermin kepercayaan diri terhadap kekuatannya sendiri.

Bukan rahasia lagi, bahwa problem yang selalu menghambat kemajuan kaum pergerakan selain teror dan dukungan massa yang masih minim, adalah kemampuan mendanai semua proses perjuangan. Banyak sudah kelompok-kelompok pergerakan tumbuh bak jamur dimusim hujan, tetapi juga banyak yang mudah rontok hanya karena miskin pendanaan. Dan terinspirasi oleh kaum pergerakan di era revolusi nasional, kaum miskin yang berhasil digalang dalam wadah perjuangan SRMK sanggup membiayai berbagai kegiatan organisasi dari iuran wajib para anggotanya. Para anggota diwajibkan membayar iuran Rp. 500,- per harinya, yang alokasinya paling besar digunakan untuk program aksi regular tiga bulanan.

Dan rekor pengumpulan dana tersebut: terkumpul sekitar 70% dari 3.000 (anggota) X Rp.500,- X 90 (hari) = Rp.94.500.000,-

“setiap tiga/empat bulan sekali POPRAM akan melancarkan aksi demonstrasi menuntut berbagai soal yang selalu membelit kehidupan kami. Jauh hari sebelum aksi massa besar-besaran ini kami lakukan, di tiap cabang, serentak melakukan aktifitas investigasi dan penyadaran. Kami sadar, kegiatan seperti ini membutuhkan duit. Karena itu kami mewajibkan para anggota untuk mengumpulkan dana perjuangan Rp500,- ; setiap hari selama tiga bulan”. (Bu Halimah, Pengurus POPRAM-SRMK Kec. Kebon Jeruk).

Lain lagi pengalaman Bapak Harjo, anggota SRMK yang bermukim di Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makasar, yang sehari-hari bekerja sebagai Tukang Ojek, berujar :

“Baru kali ini saya rasakan ada satu organisasi yang memungut duit dari para anggota. Sebelum saya bergabung dengan POPRAM-SRMK, saya sempat bergabung dengan organisasi yang selalu didanai oleh pemerintah. Dalam organisasi tersebut, saya tidak pernah mengeluarkan uang, justru sebaliknya organisasi selalu memberi saya uang. Saya tidak tahu dari mana sumber keuangannya. Dengan begitu, saya jadi merasa berorganisasi sama saja dengan cari duit. Berbeda dengan pengalaman saya bergabung di SRMK, saya dididik untuk selalu berkomitmen dalam perjuangan. Saya makin menyadari, kalau perjuangan ini mau berhasil kita harus mendanai dari kocek kita sendiri.”

Manajeman pengumpulan dana diterapkan dari tingkat kelompok, RT/Kampung, hingga Kecamatan dan disetorkan ke pusat. Di setiap tingkatan ditunjuk seseorang yang bertugas sebagai petugas penagih dan pengumpul dana perjuangan. Dalam setiap rapat (baik ditingkat RT hingga Pusat) selalu diumumkan berita pemasukan dan pengeluarkan. Setiap anggota diwajibkan untuk mengetahui dan diperbolehkan untuk memeriksa laporan yang dikeluarkan oleh pengurus.

“Biasanya setelah saya dapat informasi tiga bulan lagi mau demo… dan bila saya datang pada anggota yang sudah sadar, bila ditagih langsung membayar. Kadang juga ada perasaan kaga enak, tapi karena sudah tugas, terpaksa saya harus tetap menagih para anggota. Kadang-kadang memang ada anggota yang suka mengeluh, keberatan, ini terjadi karena tingkat kesadaran mereka masih lemah. Karena keadaan yang buat mereka seperti itu. Kadang, bila saya ada duit saya yang tomboki. Uang yang sudah terkumpul langsung saya kirim ke rekening bank Bendahara di tingkat Pusat” (Bapak Beni, petugas penagih dana Juang SRMK Kelurahan Cengkareng Timur).

Memang dalam praktek banyak juga hambatan dalam pengumpulan dana tersebut: banyak yang kerepotan harus menyetor dana (sekecil itu) setiap hari, karenanya mereka sering berjanji untuk membayarnya per minggu atau per bulan. Tapi saat mereka ditagih setelah seminggu atau sebulan, (mungkin) mereka merasa keberatan; atau mereka menyetor dana juang tersebut karena merasa sudah dibantu mendapatkan tuntutan-tuntutan mendesaknya (BLT, ASKESKIN, GAKIN), sehingga bila sudah tercapai tuntutannya mereka tak bersemangat lagi menyetor dana juang; atau dana juang habis sebelum disetor karena digunakan untuk mendanai kegiatan sehari-hari pengorganisiran (paling banyak untuk transportasi dan material diskusi); hal lainnya yang menjadi hambatan adalah manajemen tata buku (akuntansi), sehingga kami harus memberikan juklaknya dalam Surat Keputusan kami. Tapi, menurut pendapat kami, obat yang paling ampuh untuk meningkatkan kesadaran mereka dalam berjuang (termasuk menyetor dana juang) adalah memberikan pengertian kepada massa bahwa kesadaran reformis (menuntut kebutuhan-kebutuhan mendesak) tidak akan menyelesaikan persoalan. Tuntutan terhadap kebutuhan mendesak hanyalah merupakan sekolah perjuangan massa agar perjuangan yang lebih tinggi (menyelesaikan akar persoalan) memiliki landasan kongkritnya; oleh karena itu massa kami berikan pengertian ekonomi-politik agar massa mengerti secara komprehensif akar persoalan mereka dan memiliki arah perjuangan yang revolusioner. Memang, lautan kesadaran reformis harus dimobilisasi menjadi tindakan politik, tapi bila tidak ada isian (kompartemen) kesadaran ekonomi-politik revolusioner, maka perjuangan massa akan berputar-putar tambal sulam, tak ada arah revolusioner, buntu.

Dan sebagai langkah awal, SRMK tidak ingin cita-cita perjuangan rakyat miskin dikotori atau dibajak oleh kepentingan dari luar dirinya bila dana perjuangan mereka dibiayai oleh dari luar.***

Dika M N (Ketua Bidang Pemuda Dewan Pimpinan Nasional – Serikat Rakyat Miskin Kota)

 

Berita SRMI.online Copyright © 2008 Designed by Dewan Pimpinan Nasional Serikat Rakyat Miskin Indonesia