Ibu, puisi ini sengaja kutulis
dalam kegelapan musim dan waktu
hanya puisi murung
tidak berarti
Namun, dengan hati Ibu yang tulus
serta penuh kasih
pastilah Ibu mengetahui
kebenarannya
Apakah Ibu masih ingat
ketika anjing-anjing bersenjata itu
menyeret putramu lalu mengepungku
dalam kamar penyiksaan
di sebuah jalan tak bernama
Ibu tiba-tiba terjaga dari
kesakitan yang parah
mendengar lolong putramu
di malam buta
Saat itu aku berada sangat jauh dari Ibu
Dahulu aku mengira
Ibu hanyalah perempuan lemah,
yang tak punya pendirian
mengabdi kepada
suami bagaikan kuli
Ibu rela bekerja keras
di tengah hujan dan terik matahari
seorang diri
serta tiada mendendam kepada siapa pun
demi anak-anak Ibu
Setelah ayah pergi dengan perempuan itu
Ibu menangis sepanjang hari
pertanyaan kanak-kanak yang marah
selalu berakhir dengan pertanyaan lagi
ketika Ibu menyahut parau:
"Ibu mencintai ayahmu, Nak."
aku segera berlari lalu membanting pintu
Kini aku mengerti
bahwa kesanggupan mencintai
bukan hal biasa bahkan,
seringkali mengejutkan orang lain
Bertahun-tahun kemudian
anjing-anjing bersenjata datan
mengobrak-abrik rumah kita
seperti kesetanan
bangkit dari neraka
memaksa Ibu mengatakan
tempat persembunyianku
Gambar-gambar pemogokan buruh
mereka sodorkan dengan kasar
serta penuh kebencian:
"Putramu melawan pemerintah,
bersama-sama mereka membuat huru-hara."
Rasa cinta yang begitu besar
kuwarisi dari Ibu
Tetapi, kepasrahannya tidak
Wajah Ibu yang bercahaya
dengan rambut yang mulai memutih
bayangan hangat yang memenuhi benakku
sewaktu Ibu mengantar sampai ke muka pintu
Ibu menangis karena tak mempunyai
sesuatu yang berharga sebagai tanda mata
kemudian sungai air mata itu
bertambah luas melihat warna blusku
yang sudah memudar
Itulah terakhir kali
aku melihat Ibu
Perjuangan kami ini bukan untuk memisahkan
Ibu dari anaknya,
para suami dari istri mereka,
kakek atau nenek dari sang cucu,
ataupun seorang kakak dari adik-adiknya,
melainkan untuk menyatukan seluruh
umat manusia dalam kedamaian
yang tak pernah lagi kita miliki
setelah puluhan tahun kekuasaan rezim ini
Maafkan putramu
bila perjuangan kami telah membuat Ibu
terpaksa menempuh hidup yang sunyi
Bukankah dalam hati kecil Ibu
selalu mendoakan kami?
dalam kegelapan musim dan waktu
hanya puisi murung
tidak berarti
Namun, dengan hati Ibu yang tulus
serta penuh kasih
pastilah Ibu mengetahui
kebenarannya
Apakah Ibu masih ingat
ketika anjing-anjing bersenjata itu
menyeret putramu lalu mengepungku
dalam kamar penyiksaan
di sebuah jalan tak bernama
Ibu tiba-tiba terjaga dari
kesakitan yang parah
mendengar lolong putramu
di malam buta
Saat itu aku berada sangat jauh dari Ibu
Dahulu aku mengira
Ibu hanyalah perempuan lemah,
yang tak punya pendirian
mengabdi kepada
suami bagaikan kuli
Ibu rela bekerja keras
di tengah hujan dan terik matahari
seorang diri
serta tiada mendendam kepada siapa pun
demi anak-anak Ibu
Setelah ayah pergi dengan perempuan itu
Ibu menangis sepanjang hari
pertanyaan kanak-kanak yang marah
selalu berakhir dengan pertanyaan lagi
ketika Ibu menyahut parau:
"Ibu mencintai ayahmu, Nak."
aku segera berlari lalu membanting pintu
Kini aku mengerti
bahwa kesanggupan mencintai
bukan hal biasa bahkan,
seringkali mengejutkan orang lain
Bertahun-tahun kemudian
anjing-anjing bersenjata datan
mengobrak-abrik rumah kita
seperti kesetanan
bangkit dari neraka
memaksa Ibu mengatakan
tempat persembunyianku
Gambar-gambar pemogokan buruh
mereka sodorkan dengan kasar
serta penuh kebencian:
"Putramu melawan pemerintah,
bersama-sama mereka membuat huru-hara."
Rasa cinta yang begitu besar
kuwarisi dari Ibu
Tetapi, kepasrahannya tidak
Wajah Ibu yang bercahaya
dengan rambut yang mulai memutih
bayangan hangat yang memenuhi benakku
sewaktu Ibu mengantar sampai ke muka pintu
Ibu menangis karena tak mempunyai
sesuatu yang berharga sebagai tanda mata
kemudian sungai air mata itu
bertambah luas melihat warna blusku
yang sudah memudar
Itulah terakhir kali
aku melihat Ibu
Perjuangan kami ini bukan untuk memisahkan
Ibu dari anaknya,
para suami dari istri mereka,
kakek atau nenek dari sang cucu,
ataupun seorang kakak dari adik-adiknya,
melainkan untuk menyatukan seluruh
umat manusia dalam kedamaian
yang tak pernah lagi kita miliki
setelah puluhan tahun kekuasaan rezim ini
Maafkan putramu
bila perjuangan kami telah membuat Ibu
terpaksa menempuh hidup yang sunyi
Bukankah dalam hati kecil Ibu
selalu mendoakan kami?
Oleh: Cri Suniwati (Hari Ibu, 22 Desember 1996)
